Thursday, 30 April 2020

Penatalaksanaan Hipertiroid

Gambar 1. Kelenjar tiroid
Sumber: Tambayong (2000)


















Kelainan fungsi tiroid adalah salah satu gangguan endokrin yang paling sering ditemukan. Kelainan ini tergolong ke dalam dua kategori utama yaitu hipotiroidisme dan hipertiroidisme yang masing-masing mencerminkan defisiensi dan kelebihan sekresi hormon tiroid. Sejumlah penyebab spesifik dapat menyebabkan masing-masing keadaan tersebut. Apapun penyebabnya, konsekuensi dari sekresi hormon tiroid yang terlalu sedikit atau terlalu banyak umumnya dapat diperkirakan berdasarkan pengetahuan tentang fungsi hormon tiroid (Sherwood, 2011).

Proses penatalaksanaan penderita yang mengalami masalah pada kelenjar tiroid (selain dari tanda-tanda klinis yang sudah didapat) sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan T3, T4, dan TSH supaya mengetahui penderita mengalami gangguan ke arah hipotiroid atau hipertiroid. Setelah mengetahui hasilnya, baru dapat dilakukan penatalaksanaan dari masing-masing gangguan tersebut.

Menurut Chang et al. (2009) pada pemeriksaan laboratorium (T3, T4, dan TSH) pada penderita yang mengalami hipotiroid kadar TSH akan meningkat, kadar T3 dan T4 menurun. Peningkatan kadar TSH ini merupakan ciri diagnostik hipotiroidisme primer yang paling signifikan. Sedangkan pada penderita yang mengalami hipertiroid kadar TSH akan menurun, kadar T3 dan T4 meningkat.

Hipertiroid dikenal juga sebagai tiroksikosis didefinisikan sebagai respons jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan (Price & Wilson, 2005). Bentuk yang umum pada masalah hipertiroidisme adalah penyakit Graves yaitu suatu penyakit otoimun di mana tubuh secara salah menghasilkan long-acting thyroid stimulator (LATS), suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid. Tiroid terletak di atas trakea maka pembesaran kelenjar tiroid (goiter) mudah diraba dan biasanya terlihat (Sherwood, 2011).

Menurut Black & Hawks (2014) penatalaksanaan pada penderita yang mengalami pembesaran pada kelenjar tiroid (dalam hal ini hipertiroid) diharapkan dapat membatasi kelebihan sekresi TH dan mencegah komplikasinya. Beberapa penatalaksanaan dari segi manajemen medis adalah pemberian obat antitiroid, terapi radioaktif, dan pembedahan.
1. Pemberian obat antitiroid
- Berfungsi mengganggu sintesis hormon tiroid (menyekat sintesis dan pelepasan tiroksin), contohnya seperti propilitiourasil (Propacil, PTU) atau metimazol (Tapazole).
- Penyekat beta seperti propanolol diberikan bersamaan dengan obat-obat antitiroid yang berguna menghambat perubahan tiroksin perifer menjadi triyodotironin, juga menurunkan takikardia, kegelisahan, tremor, dan keringat berlebih.
- Pemberian obat ini dilakukan sampai penderita mencapai keadaan eutiroid dengan cara kerjanya akan menghalangi konversi T4 menjadi T3 di luar kelenjar tiroid.
- Obat-obat antitiroid tersebut memerlukan waktu beberapa minggu sebelum gejalanya mereda dan selama waktu tersebut dapat ditentukan dosis pemeliharaan yang kemudian diikuti oleh penghentian penggunaan obat secara bertahap, selama beberapa bulan berikutnya.
- Terapi ini ditentukan berdasarkan kriteria klinik, yang mencakup perubahan pada frekuensi nadi, tekanan nadi, berat badan, ukuran goiter, dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi tiroid (Smeltzer & Bare, 2001).
2. Terapi radioaktif
- Bertujuan untuk menghancurkan sel-sel tiroid yang berlebihan.
- Sering dilakukan pada penderita yang buruk ataupun lansia.
- Cara kerjanya akan terkonsentrasi dalam kelenjar tiroid dan menghancurkan sel-sel tiroid tanpa membahayakan jaringan lain yang bersifat radiosensitif, selama periode beberapa minggu atau bulan, sel-sel tiroid yang terpajan iodium radioaktif akan dihancurkan sehingga terjadi penurunan status hipertiroid (Smeltzer & Bare, 2001).
3. Pembedahan
- Tiroidektomi (mengangkat kelenjar tiroid) dapat dilakukan sebagian ataupun total.
- Tiroidektomi subtotalis dilakukan untuk mengoreksi hipertiroidisme atau goiter biasa, sekitar 5/6 kelenjar direseksi dan 1/6 sisanya kelenjar dapat berfungsi dengan baik, sehingga terapi hormon pengganti mungkin tidak diperlukan.
- Tiroidektomi total dilakukan untuk mengangkat kanker tiroid, penderita yang mengalami prosedur ini harus mengonsumsi hormon tiroid secara permanen (Black & Hawks, 2014).

Menurut Doenges et al. (1999) beberapa penatalaksanaan dari segi manajemen keperawatan adalah menurunkan kebutuhan metabolisme dan memberikan dukungan terhadap fungsi kardiovaskuler (homeostasis dapat dipertahankan), memberikan dukungan psikologis, memberikan informasi tentang proses penyakit, dan memberikan edukasi terkait kebutuhan terapi.


DAFTAR REFERENSI:

Black, J. M. & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah: manajemen klinis untuk hasil yang diharapkan. (edisi 8). Alih bahasa oleh Joko Mulyanto et al; editor bahasa indonesia oleh Aklia Suslia et al. Singapura: Elsevier.

Chang, E., Daly, J., & Elliott, D. (2009). Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan. Alih bahasa oleh Andry Hartono; editor bahasa indonesia oleh Devi Yulianti & Sari Isneini. Jakarta: EGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. (edisi 3). Alih bahasa oleh I Made Kariasa & Ni Made Sumarwati; editor bahasa indonesia oleh Monica Ester & Yasmin Asih. Jakarta: EGC.

Price, S. A. & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. (edisi 6, volume 2). Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, & Dewi Asih Mahanani; editor bahasa indonesia oleh Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Natalia Susi, & Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.

Sherwood, L. (2011). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. (edisi 6). Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit; editor bahasa indonesia oleh Nella Yesdelita. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner & suddarth. (edisi 8, volume 2). Alih bahasa oleh H. Y. Kuncara, Monica Ester, Andry Hartono, & Yasmin Asih; editor bahasa indonesia oleh Endah Pakaryaningsih & Monica Ester. Jakarta: EGC.

Tambayong, J. (2000). Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC.

No comments:

Post a Comment