Showing posts with label Referensi. Show all posts
Showing posts with label Referensi. Show all posts

Monday 25 January 2021

Faktor Risiko Lain Yang Menyebabkan Respiratory Distress Syndrome (RDS) Selain Hyaline Membrane Disease (HMD)

Sumber: " Kartun anak menangis " (n.d.)   



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sistem pernapasan adalah salah satu sistem organ yang paling terakhir matang pada janin apabila dibandingkan dengan sistem organ lain. Perkembangan paru dimulai pada waktu 3 minggu setelah terjadinya konsepsi dan terus berlanjut hingga 8 tahun setelah lahir. Perkembangan berasal divertikulum respiratorius yang terlihat sebagai tonjolan dari usus depan pada hari ke-26 dan merupakan perluasan arah kaudal sulkus laringotrakeal. Pada hari ke-33, tunas paru mulai bercabang dan pada hari ke-37, bronkus utama mulai melakukan penetrasi ke mesenkim. Pada hari ke-42 lobus paru dan bronkus segmental mulai terbentuk (Salim et al, 2009). 
 
Respiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan, terutama pada bayi yang dilahirkan di masa gestasi yang kurang. Defisiensi surfaktan pada Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebabkan oleh empat faktor yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, dan seksio sesaria (Honrubia & Stark, 2004; Rennie & Roberton, 2002; Pusponegoro, 1997). Terdapat tiga faktor yang memudahkan terjadinya Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada bayi prematur yaitu alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, dinding thorax masih lemah sehingga pengembangan kurang sempurna, dan produksi surfaktan kurang sempurna (Rennie & Roberton, 2002). 
 
Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau dengan nama lain sindrom gawat pernapasan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dan bayi dengan ibu yang mengidap diabetes mellitus dalam kehamilan yang tidak terkontrol. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebabkan oleh insufisiensi dari produksi dan fungsi surfaktan dan imaturitas dari struktur paru. Respiratory Distress Syndrome (RDS) juga bisa disebabkan oleh suatu kelainan genetik dari produksi surfaktan (Pickerd & Kotecha, 2008). Kondisi dan faktor risiko tertentu dari ibu dan bayi dapat menjadi suatu faktor risiko dalam terjadinya Respiratory Distress Syndrome (RDS), contohnya kondisi hipertensi dalam kehamilan, ketuban pecah dini, diabetes mellitus gestasional, pertumbuhan janin terhambat, kehamilan kembar, serta konsumsi rokok dan alkohol selama kehamilan (Geary & Whitsett, 2005).
 
 
DAFTAR REFERENSI:
 
Fitrianingsih. (2015). Kajian efektivitas biaya penggunaan sediaan parenteral nutrisi d10-cagluconas dan d5-1/4ns pada pasien respiratory distress syndrome (rds) neonatus dengan berat badan normal di rsu kambang jambi. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Program Magister Ilmu Kefarmasian.
 
Geary, C. & Whitsett, J. (2005). Amniotic fluid markers of fetal-lung maturity. Intensive care of the Fetus and Neonate 2nd edition. Elsevier Mosby. VI;10;p 122-131
 
Honrubia, D. & Stark, A. R. (2004). Respiratory Distress Syndrome. In J. P. Choherthy, E. C. Eichenwald, & A. R. Stark, Manual of Neonatal Care (5th ed., pp. 341-361). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
 
Kartun anak menangis ibu, bayi itu menangis di pangkuan ibu kartun, cinta, karakter kartun png. (n.d.). Retrieved January 25, 2021, from https://www.pngegg.com/id/png-bbwtm
 
Pickerd, N. & Kotecha, S. (2008). Pathophysiology of respiratory distress syndrome. Paediatrics and child health, 19;4
 
Pradana, A. (2012). Perbandingan nilai hitung badan lamelar dan tes busa sebagai prediktor respiratory distress syndrome pada kehamilan di atas 28 minggu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Program Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi.
 
Pusponegoro, T. S. (1997). Penggunaan Surfaktan pada Sindrom Gawat Nafas Neonatal. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak, 89-96.
 
Rennie, J. M. & Roberton, N. R. (2002). Respiratory Distress Syndrome. In N. R. Roberton, J. Rennie, & G. Kendall, A Manual of Neonatal Intensive Care (pp. 128-178). London: Arnold Publisher.
 
Salim, R. et al. (2009). Predicting lung maturity in preterm of membranes via lamellar bodies count from a vaginal pool: a cohort study. Reproductive Biology and Endocrinology Journal, 7(112): 1-5

Friday 12 June 2020

Routinity Habits Listening To Music Before Sleeping

Source: Geschichte! (February 3, 2012)


















Some people think that the habit of listening to music before going to bed can help the problem of difficulty sleeping while others don't think so.


Everyone has a different perspective to help with problems sleeping difficult with the habit of listening to music before going to bed. Many benefits from this routine. However, the effects of this routine habits that will interfere with health, especially listening to music until the next morning.

The main reason is music provides a calm and relaxing effect. This is evidenced from the results of research that shows that the tempo of music is believed to be able to “ adjust ” the heartbeat. Music that has a slow beat of around 60 beat per minute (BPM) is recommended by some experts as an ideal condition for sleep music that can provide a relaxing effect so it falls asleep faster. Another benefit from the routine of listening to music before bed is preventing insomnia. Based on the results of the study, about 30% of adults experience insomnia that is quite chronic in their lives, where the hours of sleep for adults experience interference for more than one month. This is triggered by factors such as age and stress. Some researchers suggest making a favorite playlist music and listening to it before going to bed rather than relying on sleeping pills to help sleep quickly.

Although there are benefits, these habits should not be a routine especially listening to music until the next morning because the effects of these routine habits will interfere with health. For example, the brain continues to work. When sleeping with the conditions of music that rotates throughout the night, sound waves emitted by a music player are received by the auditory senses which are then passed on to the brain, brain work that should not be as busy as during the day will be aroused to receive and process incoming information. Another example is decreased hearing ability. Sleeping while listening to music can have a risk to the ears, especially if listening to it using earphones plus deliberately playing music with a loud volume so you can sleep. This habit routine can affect hearing ability. The volume of music is too loud can damage the eardrum.

In conclusion, listening to music before going to bed is permissible as long as it does not become a routine habit.


REFERENCES:

Geschichte!, M. (2012, February 3). Danbo. Retrieved June 12, 2020, from http://nurzsky.blogspot.com/2012/02/danbo.html

Thursday 4 June 2020

Patofisiologi Leukemia Pada Anak

Sumber: Handayani & Haribowo (2008)



















Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel darah putih dalam sumsum tulang (Kusumawati, 2013). Jenis penyakit ini merupakan kanker darah dengan keganasan pada sumsum tulang dan sistem limfatik akibat proliferasi sel leukosit yang imatur dalam jaringan pembentuk darah yang disertai peningkatan jumlah leukosit yang sering ditemukan pada anak-anak (Wahyuni, 2014).

Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur/abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan hematopoiesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leukosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembesaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (ekhimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kanker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Handayani & Haribowo (2008), proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk hematologis atau turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia dan mengakibatkan:
1. Penekanan hematopoiesis normal, sehingga terjadi bone marrow failure.
2. Infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga menimbulkan organomegali.
3. Katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik.

Gambar 1. Patofisiologi leukemia
Sumber: Handayani & Haribowo (2008)

























  


DAFTAR REFERENSI:

Handayani, W. & Haribowo, A. S. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Kusumawati, N. N. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada penderita leukemia limfositik akut yang mengalami mual-muntah di rsup fatmawati jakarta. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi Profesi Ilmu Keperawatan.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner & suddarth. (edisi 8, volume 2). Alih bahasa oleh H. Y. Kuncara, Monica Ester, Andry Hartono, & Yasmin Asih; editor bahasa indonesia oleh Endah Pakaryaningsih & Monica Ester. Jakarta: EGC.

Wahyuni, S. (2014). Analisis praktik kkmp pada anak penderita leukemia limfositik akut dengan pemberian madu untuk mencegah mukositis akibat kemoterapi di rsup fatmawati jakarta. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Profesi Ners.

Monday 1 June 2020

Pemeriksaan Penunjang, Komplikasi, dan Penatalaksanaan pada Kanker Payudara (Carcinoma Mammae)

Sumber: Purwoastuti (2008)






















Menurut Komite Penanggulangan Kanker Nasional (n.d.), pemeriksaan penunjang pada kanker payudara (carcinoma mammae), meliputi:
1. Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).
2. Pemeriksaan laboratorium, dianjurkan:
a. Pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan kimia darah sesuai dengan perkiraan metastasis.
b. Tumor marker ➞ apabila hasil tinggi, perlu diulang untuk follow up.
3. Pemeriksaan pencitraan:
a. Momografi payudara.
b. USG payudara.
c. MRI dan CT-Scan
4. Pemeriksaan patologi anatomi:
a. Sitologi : biopsi jarum halus, biopsi apus, dan analisa cairan.
b. Morfologi (histopatologi) : tru-cut biopsi (core biopsy), biopsi terbuka dan spesimen operasi.
c. Pemeriksaan immunohistokimia (IHK) : reseptor hormonal yaitu reseptor estrogen dan reseptor progesteron, HER2, dan Ki-67.
d. In situ hibridisasi.
e. Gene array.

Menurut Corwin (2009), komplikasi pada kanker payudara (carcinoma mammae), meliputi:
1. Dapat terjadi metastasis luas, antara lain ke otak, paru, tulang, hati, dan ovarium.
2. Angka bertahan hidup bergantung pada stadium:
a. Stadium I (tumor < 2 cm, tanpa metastasis) 80%.
b. Stadium II (tumor 2-5 cm, metastasis ke kelenjar getah bening ketiak) 65%.
c. Stadium III (tumor > 5 cm, metastasis ke kelenjar getah bening ketiak dan menyebar ke kulit atau dinding dada) 40%.
d. Stadium IV (metastasis luas) 10%.

Komplikasi utama dari kanker payudara adalah metastase dengan penyebaran sel kankernya di luar payudara. Tempat yang sering untuk metastase jauh adalah tulang (71%), paru-paru (69%), hepar (65%), pleura (51%), adrenal (49%), kulit (30%), dan otak (20%) (Smetzer & Bare, 2002).

Menurut Komite Penanggulangan Kanker Nasional (n.d.), penatalaksanaan pada kanker payudara (carcinoma mammae), meliputi:
1. Pembedahan:
a. Mastektomi
- Mastektomi Radikal Modifikasi (MRM)
- Mastektomi Radikal Klasik/Classic Radical Mastectomy (CRM)
- Mastektomi dengan teknik onkoplasti
- Mastektomi simpel
- Mastektomi subkutan (nipple-skin-sparing mastectomy)
b. Breast Conserving Therapy (BCT)
c. Salfingo Ovariektomi Bilateral (SOB)
d. Metastasektomi
2. Terapi Sistemik:
- Kemoterapi
3. Terapi Hormonal
4. Terapi Target
5. Radioterapi:
- Terapi kuratif ajuvan
- Terapi paliatif


DAFTAR REFERENSI:

Corwin, E. J. (2009). Patofisiologi: buku saku. (edisi 3 revisi). Alih bahasa oleh Nike Budhi Subekti; editor bahasa indonesia oleh Egi Komara Yudha, Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti, & Pamilih Eko Karyuni. Jakarta: EGC.

Komite Penanggulangan Kanker Nasional. (n.d.). Panduan penatalaksanaan kanker payudara. Kemenkes RI.

Purwoastuti, E. (2008). Kanker payudara: pencegahan & deteksi dini. Yogyakarta: Kanisius. 

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner & suddarth. (edisi 8, volume 2). Alih bahasa oleh H. Y. Kuncara, Monica Ester, Andry Hartono, & Yasmin Asih; editor bahasa indonesia oleh Endah Pakaryaningsih & Monica Ester. Jakarta: EGC.

Saturday 30 May 2020

Definisi Infertilitas

Sumber: Munir (September 2, 2019)






















Ketidakmampuan untuk hamil dan melahirkan anak secara mengejutkan dialami oleh 15% - 20% orang dewasa yang sehat. Kondisi ini sering kali menyebabkan individu mengalami gangguan konsep diri seksual. Pasangan dengan kondisi tersebut sering kali meminta bantuan dari tenaga kesehatan untuk mengatasi masalah dan memperoleh solusi. Sikap, sensitivitas, dan kepedulian anggota tim kesehatan yang terlibat dalam pengkajian gangguan fertilitas menjadi fondasi kemampuan pasien untuk menjalani terapi dan penatalaksanaan berikutnya. Semua anggota tim kesehatan harus menghormati hak pasien untuk memperoleh privasi dan kerahasiaan catatannya (Bobak et al, 2004).

Definisi tradisional gangguan fertilitas adalah ketidakmampuan untuk mengandung setelah sekurang-kurangnya satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan (alat kontrasepsi). Hal ini artinya bahwa suatu ketidakmampuan untuk hamil atau mengandung anak sampai anak tersebut lahir hidup pada saat pasangan memutuskan untuk memperoleh anak (Bobak et al, 2004). Infertilitas adalah kondisi yang menunjukkan tidak terdapatnya pembuahan dalam waktu satu tahun setelah melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan kontrasepsi. Infertilitas atau ketidaksuburan adalah ketidakmampuan Pasangan Usia Subur (PUS) untuk memperoleh keturunan setelah melakukan hubungan seksual secara teratur dan besar tanpa usaha pencegahan lebih dari satu tahun. Disamping istilah infertil ada juga istilah fekunditas sebagai petunjuk kepada kemampuan fisiologis dan biologis seorang perempuan untuk menghasilkan anak lahir hidup. Sedangkan di masyarakat, jika seorang perempuan tidak dapat melahirkan anak maka dikatakan (muncul stigma) infertil (Harnani et al, 2019).

Pasangan infertilitas yaitu pasangan yang telah kawin selama 1 tahun dengan kehidupan keluarga harmonis tetapi belum dikaruniai keturunan (kehamilan). Infertilitas dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Infertilitas primer
Suatu keadaan ketika Pasangan Usia Subur (PUS) yang telah menikah lebih dari satu tahun hubungan seksual secara teratur dan benar tanpa usaha pencegahan, tetapi belum terjadinya kehamilan, atau belum pernah melahirkan anak hidup.
2. Infertilitas sekunder
Keadaan dimana Pasangan Usia Subur (PUS) yang sudah mempunyai anak, sulit untuk memperoleh anak lagi, walaupun sudah melakukan hubungan seksual secara teratur dan benar tanpa usaha pencegahan (Harnani et al, 2019).


DAFTAR REFERENSI:

Bobak, I. M., Lowdermilk, D. L., & Jensen, M. D. (2004). Buku ajar keperawatan maternitas. (edisi 4). Alih bahasa oleh Maria A. Wijayarini & Peter I. Anugerah; editor bahasa indonesia oleh Renata Komalasari. Jakarta: EGC.

Harnani, Y., Marlina, H., & Kursani, E. (2019). Teori kesehatan reproduksi. Yogyakarta: Deepublish.

Munir, M. (2019, September 2). Infertilitas. Retrieved May 30, 2020, from http://www.yankes.kemkes.go.id/read--infertilitas-7828.html

Friday 29 May 2020

Konsep Klien Kelompok Rentan: Penyalahgunaan NAPZA

Sumber: Hadi (February 6, 2013)


















Menurut Gunawan (2006) narkoba adalah singkatan dari narkotika dan bahan berbahaya, dalam istilah lain ada napza yaitu narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya. Narkotik adalah obat-obatan yang bekerja pada susunan saraf pusat dan digunakan sebagai analgesik (pengurang rasa sakit) pada bidang kedokteran. Psikotropika adalah obat-obatan yang efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan kejiwaan. Bahan adiktif adalah bahan yang apabila digunakan dapat menimbulkan kecanduan atau ketergantungan. Pemakai dapat merasa tenang, merasa segar, bersemangat, menimbulkan efek halusinasi, dan memengaruhi suasana perasaan pemakai. Efek inilah yang sering dimanfaatkan pemakai saat ia merasa kurang percaya diri, khawatir tidak diakui sebagai kawan, melarikan diri dari permasalahan, atau bahkan hanya untuk sekedar rekreasi atau bersenang-senang (Yusuf et al, 2015).

Narkoba saat ini menjadi terkenal karena membuat seseorang kecanduan, dan dapat lupa semua hal yang dialami para pecandu narkoba. Pemakai obat-obatan terlarang dan alkohol berpotensi terkena gangguan jiwa. Konsumsi obat dan alkohol merusak sel otak dan ketergantungan yang membuat tubuh terus menagih. Ketagihan ini akan membuat pemakai merasa gelisah, khawatir, tidak tenang, dan kacau. Perilaku gelisah, tidak tenang, dan kacau itu bisa menunjukkan indikasi adanya penyakit gaduh gelisah akut. Perilaku tidak terkontrol ini membahayakan diri pasien dan orang lain, termasuk dokter/perawat yang menangani. Penyakit gaduh gelisah akut ini muncul karena kelainan organik ataupun psikogenik. Kelainan organik disebabkan penyakit/gangguan sistemik, diantaranya panas tubuh tinggi, kekurangan kalium, kekurangan kadar gula darah, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, serta penyakit AIDS. Gangguan sistem pada otak dapat menjadi pencetus kelainan psikogenik, seperti skizofrenia, gangguan mental, gangguan kepribadian, dan gangguan stres pascatrauma (Sukandarrumidi et al, 2017).

Menurut Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (March 20, 2014), narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif/psikotropika dapat menyebabkan efek dan dampak negatif bagi pemakainya. Dampak yang negatif itu sudah pasti merugikan dan sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik. Meskipun demikian terkadang beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia kedokteran, namun hanya diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum dan bebas oleh masyarakat. Oleh karena itu, obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam, antara lain:
1. Dampak tidak langsung narkoba yang disalahgunakan
- Akan banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
- Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik.
- Biasanya tukang candu narkoba akan bersikap anti sosial.
- Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat terlarang.
- Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi atau Drop Out (DO).
- Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkoba akan senang berbohong dan melakukan tindak kriminal.
- Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban sebagai umat yang beragama serta menjalani kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.
- Bisa dijebloskan ke dalam penjara yang sangat menyiksa lahir batin. Biasanya setelah seorang pecandu sembuh dan sudah sadar dari mimpi-mimpinya maka ia baru akan menyesali semua perbuatannya yang bodoh dan banyak waktu serta kesempatan yang hilang tanpa disadarinya. Terlebih jika sadarnya ketika berada di penjara. Segala caci-maki dan kutukan akan dilontarkan kepada benda haram tersebut, namun semua telah terlambat dan berakhir tanpa bisa berbuat apa-apa.
2. Dampak langsung narkoba bagi jasmani (tubuh manusia)
- Adanya gangguan pada sistem tubuh.
- Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes, TBC, dll.
3. Dampak langsung narkoba bagi kejiwaan (mental manusia)
- Menyebabkan depresi mental.
- Menyebabkan gangguan jiwa berat/psikotik.
- Menyebabkan bunuh diri.
- Menyebabkan melakukan tindak kejahatan, kekerasan dan pengerusakan.

Gambar 1. Rentang respons gangguan penggunaan zat adiktif
Sumber: Yusuf et al. (2015)










Penjelasan menurut gambar di atas, sebagai berikut:
1. Eksperimental
Kondisi penggunaan tahap awal, yang disebabkan rasa ingin tahu. Biasanya dilakukan oleh remaja, yang sesuai tumbuh kembangnya ingin mencari pengalaman baru atau sering juga dikatakan sebagai taraf coba-coba.
2. Rekreasional
Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebayanya, misalnya waktu pertemuan malam minggu, ulang tahun, dan sebagainya. Penggunaan ini bertujuan untuk rekreasi bersama teman sebayanya.
3. Situasional
Penggunaan zat yang merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Biasanya individu menggunakan zat bila sedang dalam konflik, stres, dan frustasi.
4. Penyalahgunaan
Penggunaan zat yang sudah bersifat patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, paling tidak sudah berlangsung selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku, serta mengganggu fungsi peran di lingkungan sosialnya, pendidikan, dan pekerjaan. Walaupun pasien menderita cukup serius akibat menggunakan, pasien tersebut tidak mampu untuk menghentikan.
5. Ketergantungan
Penggunaan zat yang sudah cukup berat, sehingga telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan kondisi toleransi dan sindroma putus zat.

Dalam pemberian pelayanan kesehatan ataupun penerapan pendekatan kesehatan terkait penyalahgunaan narkoba, maka upaya pencegahan terhadap penyebaran narkoba sudah semestinya menjadi tanggung jawab kita bersama. Semua orang sadar bahwa narkoba menggerogoti kesehatan, menggerogoti uang, dan membahayakan kehidupan bangsa dan negara. Oleh sebab itu, sebagai tenaga kesehatan harus bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam melakukan pemberantasan penyalahgunaan narkoba dengan sungguh-sungguh.


DAFTAR REFERENSI:

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2014, March 20). Dampak langsung dan tidak langsung penyalahgunaan narkoba. Retrieved February 11, 2019, from https://bnn.go.id/blog/artikel/dampak-langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkoba/

Gunawan, W. (2006). Keren tanpa narkoba. Jakarta: Grasindo.

Hadi, I. (2013, February 6). Keterkaitan uu narkotika dengan uu psikotropika. Retrieved May 29, 2020, from https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50f7931af12dc/keterkaitan-uu-narkotika-dengan-uu-psikotropika

Sukandarrumidi, Maulana, F. W., & Rakhman, A. N. (2017). Geotoksikologi: usaha mencegah keracunan akibat bencana geologi dengan studi kasus timbal (pb), merkuri (hg), tembaga (cu), cadmium (cd), arsen (as), dan chromium (cr). Yogyakarta: UGM Press.

Yusuf, Ah., Fitryasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Tuesday 26 May 2020

Klasifikasi dan Patofisiologi Kejang Demam pada Anak Usia Toddler

Sumber: Eveline & Djamaludin (2010)


















Menurut Yuliastati et al. (2016) klasifikasi kejang demam, meliputi:
1. Kejang parsial
- Penyebab: cedera kepala, infeksi otak, stroke, tumor, atau perubahan dalam cara daerah otak dibentuk sebelum lahir (disebut dysplasia kortikal).
- Durasi: berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang parsial ini umumnya tidak berulang dalam waktu 24 jam.
- Tipe: umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
- Jenis:
a. Kejang parsial sederhana ditandai dengan kondisi yang tetap sadar dan waspada, gejala motorik terlokalisasi pada salah satu sisi tubuh. Manifestasi lain yang tampak yaitu kedua mata saling menjauh dari sisi fokus, gerakan tonik-klonik yang melibatkan wajah, salivasi, bicara berhenti, gerakan klonik terjadi secara berurutan dari mulai kaki, tangan, atau wajah.
b. Kejang sensori khusus dicirikan dengan berbagai sensasi. Kebas, kesemutan, rasa tertusuk, atau nyeri yang berasal dari satu lokasi (misalnya wajah atau ekstremitas) dan menyebar ke bagian tubuh lainnya merupakan beberapa manifestasi kejang ini. Penglihatan dapat membentuk gambaran yang tidak nyata. Kejang ini tidak umum pada anak-anak di bawah usia 8 tahun.
c. Kejang parsial kompleks lebih sering terjadi pada anak-anak dari usia 3 tahun sampai remaja. Kejang ini dicirikan dengan timbulnya perasaan kuat pada dasar lambung yang naik ke tenggorokan, adanya halusinasi rasa, pendengaran, atau penglihatan. Individu juga sering mengalami perasaan deja-vu. Penurunan kesadaran terjadi dengan tanda-tanda individu tampak linglung dan bingung, dan tidak mampu merespons atau mengikuti instruksi. Aktivitas berulang tanpa tujuan dilakukan dalam keadaan bermimpi, seperti mengulang kata-kata, menarik-narik pakaian, mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, atau bertindak agresif (kurang umum pada anak-anak). Anak dapat merasa disorientasi, konfusi, dan tidak mengingat fase kejang pada saat pasca kejang.
2. Kejang umum
- Penyebab: kejang fokal atau parsial satu sisi, atau didahului kejang parsial.
- Durasi: berlangsung lama (lebih dari 15 menit), berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
- Tipe: kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
- Jenis: kejang tonik-klonik, kejang atonik, kejang akinetik, dan kejang mioklonik.

Klasifikasi kejang demam  menurut Fukuyama, yaitu:
1. Kejang demam sederhana, kriterianya:
a. Dikeluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi.
b. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan - 6 tahun.
c. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit.
d. Kejang tidak bersifat fokal.
e. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca-kejang.
f. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas perkembangan.
g. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat.
2. Kejang demam kompleks
Bila kejang demam tidak memenuhi kriteria dari kejang demam sederhana atau bisa disebut kebalikan dari kriteria kejang demam sederhana misalnya durasi, kejang demam kompleks berlangsung lebih dari 20 menit, bersifat fokal, dll (Lumbantobing, 2004).

Bahasan selanjutnya mengenai patofisiologi dari kejang demam. Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl–). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular.
2. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 derajat C, sedang anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru terjadi bila suhu mencapai 40 derajat C atau lebih (Ngastiyah, 2005).


DAFTAR REFERENSI: 

Eveline & Djamaludin, N. (2010). Panduan pintar merawat bayi dan balita. Jakarta: WahyuMedia. 

Lumbantobing, S. M. (2004). Kejang demam (febrile convulsions). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit. Jakarta: EGC.

Yuliastati, Arnis, A., & Nining. (2016). Modul bahan ajar cetak keperawatan: keperawatan anak. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Saturday 23 May 2020

Konsep Teoritis (Culture Care) Leininger: Bagan Teori (Sunrise Model)

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, maka perawat harus mempertimbangkan kultur atau budaya mereka. Ketidakmampuan memahami budaya orang lain/pasien akan menyebabkan perawatan mengalami “ culture shock ” atau penolakan. Culture shock terjadi apabila seseorang memasuki/berhubungan dengan kelompok budaya yang berbeda. Seseorang tersebut akan merasa tidak nyaman, merasa tidak berguna dan mengalami disorientasi sebab adanya perbedaan nilai budaya, kepercayaan dan praktik culture shock mengakibatkan kemarahan. Keadaan ini dapat dihindari dengan mempelajari terlebih dahulu kebudayaan suatu tempat, individu, kelompok sebelum kita masuk ke tempat tersebut. Leininger menyebut asuhan keperawatan berbasis budaya dengan istilah asuhan budaya atau etnonursing (Aini, 2018).

Teori Leininger tentang keragaman pelayanan berdasarkan kultur dan universalitas menyatakan bahwa kasih sayang merupakan inti dari keperawatan, dominan, karakteristik, dan ciri khas keperawatan. Faktor sosial, seperti kepercayaan klien, politik, kultur, dan tradisi merupakan faktor signifikan yang memengaruhi pelayanan, kesehatan klien, dan bentuk penyakit. Tujuan teori Leininger adalah menyediakan bagi klien pelayanan kesehatan spesifik secara kultural. Untuk memberikan asuhan keperawatan bagi klien dengan kultur tertentu, perawat perlu memperhitungkan tradisi kultur klien, nilai-nilai, dan kepercayaan ke dalam rencana perawatan (Potter & Perry, 2009).

Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (sunrise model). Pada sub pokok bahasan ini, akan lebih dijelaskan mengenai bagan teori dari sunrise model.

Gambar 1. Sunrise model
Sumber: Andrews & Boyle (2016)






















Berdasarkan 7 komponen yang ada pada sunrise model, dapat dijelaskan bahwa:
1. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji: persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.
2. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
3. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
4. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
5. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya. Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
6. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya seperti pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
7. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali (Afifah, n.d.).

Menurut Aini (2018), sunrise model mempunyai 4 tingkatan, yaitu:
1. Tingkat I
Terdiri dari 3 aspek yaitu perawatan berdasarkan budaya, pandangan global, dan dimensi struktural sosial budaya. Tingkat ini merupakan pengumpulan data/informasi tentang struktur sosial dan gambaran global budaya pasien. Data yang dikumpulkan antara lain konteks bahasa dan lingkungan, teknologi, filosofi/agama, hubungan keluarga, struktur sosial, nilai budaya, politik, sistem hukum, ekonomi, serta pendidikan.
2. Tingkat II
Sebagai tambahan informasi dari Tingkat I untuk menentukan situasi di mana klien berada, apakah dia sendirian, dengan keluarga dalam kelompok atau dalam lembaga sosial budaya. Pada tingkat ini, perawat melakukan pengkajian tentang apakah pasien hidup sendiri, apakah pasien hidup bersama keluarga, apakah pasien hidup dalam kelompok, apakah pasien hidup dalam lembaga.
3. Tingkat III
Berisi tentang perlunya mengenal keberadaan klien dalam nilai dan sistem kesehatan, kepercayaan, perilaku dalam kelompok, peranan profesi keperawatan dalam sistem kesehatan. Pada tingkat ini, perawat melakukan pengkajian tentang nilai kesehatan, sistem kesehatan, kepercayaan, perilaku kelompok, dan peran perawat.
4. Tingkat IV
Merupakan kegiatan perencanaan dan implementasi dari kegiatan keperawatan. Terdiri dari 3 model kegiatan, yaitu:
a. Maintenance atau preservasi asuhan kultural
Melibatkan penghargaan yang penuh terhadap pandangan budaya dan ritual pasien serta kerabatnya. Kegiatan yang dilakukan berupa pemberian bantuan, dukungan untuk pemulihan dan mempertahankan kesehatan dalam rangka penyembuhan penyakit dan menghadapi kematian.
b. Negosiasi atau adaptasi asuhan kultural
Melibatkan negosiasi dengan pasien dan kerabatnya dalam rangka menyesuaikan pandangan dan ritual tertentu yang berkaitan dengan sehat, sakit, dan asuhan. Kegiatan yang dilakukan berupa pemberian bantuan, dukungan profesional kepada pasien untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap keadaan kesehatan yang dialami dan pola keperawatan untuk meningkatkan status kesehatan pasien.
c. Restructuring atau rekonstruksi asuhan kultural
Melibatkan kerjasama dengan pasien dan kerabatnya dalam rangka membawa perubahan terhadap perilaku mereka yang berkaitan dengan sehat, sakit, dan asuhan dengan cara bermakna bagi mereka. Kegiatan yang dilakukan berupa membantu pasien merubah perilaku kesehatannya/pola hidup atau memodifikasi untuk mencapai tingkat kesehatan optimal.


DAFTAR REFERENSI:

Afifah, E. (n.d.). Ringkasan materi: unit 2 keragaman budaya dan perspektif transkultural dalam keperawatan. Retrieved October 7, 2019, from http://staff.ui.ac.id/system/files/users/afifah/material/transkulturalnursing.pdf

Aini, N. (2018). Teori model keperawatan: beserta aplikasinya dalam keperawatan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Andrews, M. M. & Boyle, J. S. (2016). Transcultural concepts in nursing care. (7th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

Potter, P. A. & Perry, A. G. (2009). Fundamental keperawatan. (edisi 7, volume 1). Alih bahasa oleh Adrina Ferderika; editor bahasa indonesia oleh Dripa Sjabana. Jakarta: Salemba Medika.

Friday 22 May 2020

Pasien Dianjurkan Untuk Meninggikan Kaki Melebihi Level Jantung

Sumber: " Injured " (April 1, 2011)






















Pada kasus fraktur atau saat terjadinya cidera, pada dasarnya sel dan matriks tulang tidak mampu memperbaiki diri sendiri secara langsung tanpa bantuan dari jaringan yang berhubungan. Jika tulang mengalami fraktur, reaksi pertama adalah pembentukan hematoma (gumpalan darah yang besar). Pembuluh darah pada area cidera mengalami hemoragi dan pembekuan. Hematoma kemudian diinvasi dengan cara meregenerasi pembuluh darah (Sloane, 2003). Di dalam pengkajian yang tujuannya untuk mengidentifikasi gejala-gejala gangguan sistem muskuloskeletal, salah satunya adalah terjadi pembengkakan. Salah satu penatalaksanaannya adalah dengan istirahat dan meninggikan bagian yang sakit guna mengurangi bengkak dan pembekuan (Risnanto & Insani, 2014).

Mengangkat kaki lebih tinggi dari jantung diharapkan penumpukan darah di ekstremitas bawah tidak terjadi karena darah akan mengalir dari kaki ke jantung, darah balik akan terpelihara, tekanan darah tidak turun. Hal ini dimungkinkan karena dengan posisi kaki lebih tinggi daripada jantung maka energi gravitasi di kaki lebih besar, tahanan pembuluh darah vena sentral lebih rendah daripada vena perifer dan adanya system katup yang senantiasa memungkinkan darah selalu mengalir ke jantung. Normal volume darah manusia sekitar 70-75 ml/kgBB. Volume darah didistribusikan diantara intra thorak (15%) dan ekstra thorak (85%). Prosentase terbanyak ekstra thorak berada didalam sistem vena (70%) sekitar 2500 ml, arteri (10%) dan kapiler (5%). Pada keadaan normal, pada posisi berdiri dimana kaki tidak bergerak, sistem vena pada kaki bisa berisi darah sampai 500 ml (Purnawan, 2015).

Elevasi kaki merupakan pengaturan posisi dimana anggota gerak bagian bawah diatur pada posisi lebih tinggi dari pada jantung. Kondisi tersebut merupakan suatu upaya untuk membuat suatu perbedaan tekanan antara ujung kaki dan bagian badan atau jantung. Pada saat ada hilangnya tonus otot vena, maka darah dalam pembuluh darah bersifat seperti cairan yang mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, tetapi pada aliran darah dari kaki untuk sampai ke jantung akan melewati hambatan dari tekanan abdomen. Oleh karena itu maka ketinggian dari elevasi kaki perlu diperhitungkan. Elevasi kaki akan menyebabkan adanya perbedaan tekanan antara ujung kaki dan bagian jantung atau badan serta menimbulkan efek dari gaya gravitasi. Dengan adanya elevasi kaki diharapkan tekanan di ujung kaki lebih tinggi daripada badan atau jantung. Harapan dari posisi tersebut akan menghindarkan adanya penumpukan darah pada ekstremitas bawah sehingga aliran darah balik ke jantung tetap terpelihara dengan baik dan ketidakstabilan tekanan darah berupa penurunan tekanan darah atau hipotensi tidak sampai terjadi (Purnawan, 2015).


DAFTAR REFERENSI: 

Injured. (2011, April 1). Retrieved May 21, 2020, from https://www.mobilesmspk.net/wallpaper/comedy/injured_1546

Purnawan, I. K. (2015). Skripsi: pengaruh elevasi kaki terhadap kestabilan tekanan darah pada pasien dengan spinal anestesi. Denpasar: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

Risnanto & Insani, U. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan medikal bedah: sistem muskuloskeletal. Yogyakarta: Deepublish.

Sloane, E. (2003). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Alih bahasa oleh James Veldman; editor bahasa indonesia oleh Palupi Widyastuti. Jakarta: EGC.

Thursday 21 May 2020

Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal

Tulang mulai terbentuk sejak bayi dalam kandungan. Tanpa tulang, tubuh manusia tidak dapat tegak berdiri. Manusia bisa bergerak karena ada rangka dan otot. Rangka tersebut tidak dapat bergerak sendiri, melainkan dibantu oleh otot. Dengan adanya kerja sama antara rangka dan otot, manusia dapat melompat, berjalan, berlari, dan sebagainya (Risnanto & Insani, 2014).

Gambar 1. Kerangka muskuloskeletal
Sumber: Risnanto & Insani (2014)






















Menurut Risnanto & Insani (2014), sistem muskuloskeletal adalah seluruh kerangka manusia dengan seluruh otot yang menggerakkannya dengan tugas melindungi organ vital dan bertanggung jawab atas pergerakkan berbagai otot yang dapat menggerakkan anggota badan dalam lingkup gerakkan sendi tertentu. Komponen muskuloskeletal terdiri dari:
1. Tulang
- Berasal dari embrionic hyaline cartilage.
- Klasifikasi : tulang panjang, tulang pendek, tulang pendek datar, tulang yang tidak beraturan, dan tulang sesamoid.
- Tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral.
- Fisiologi : mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh, melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak, memberikan pergerakkan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakkan), membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang belakang (hematopoiesis), serta menyimpan garam mineral (misalnya kalsium, fosfor).

Gambar 2. Bone remodelling
Sumber: Peate & Nair (2015)










Gambar 3. Bone growth
Sumber: Peate & Nair (2015)








2. Otot
- Merupakan jaringan peka rangsangan (eksitabel) yang dapat dirangsang secara kimia, listrik, dan mekanik untuk menimbulkan suatu aksi potensial.
- Jenis : otot lurik, otot polos, dan otot jantung.

Gambar 4. Muscle tissues
Sumber: Peate & Nair (2015)


















3. Kartilago
Merupakan suatu material yang terdiri dari serat-serat yang kuat namun fleksibel dan avaskuler.
4. Ligament
- Merupakan pembalut/selubung yang sangat kuat, yang merupakan jaringan elastis penghubung yang terdiri atas kolagen.
- Tipe : ligament tipis dan ligament jaringan elastik kuning.
5. Tendon
Merupakan tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang terbuat dari fibrous protein (kolagen).
6. Fascia
Merupakan pembungkus tebal, jaringan penyambung fibrous yang membungkus otot saraf dan pembuluh darah.
7. Bursae
Suatu kantong kecil dari jaringan konektif lokal yang mempunyai tekanan dimana membantu dalam pergerakkan.
8. Persendian
Semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang tersebut dapat bergerak satu sama lain maupun tidak.

Gambar 5. Joint types
Sumber: Peate & Nair (2015)






















Menurut Sloane (2003), rangka manusia dewasa tersusun dari tulang-tulang (sekitar 206 tulang) yang membentuk suatu kerangka tubuh yang kokoh. Walaupun rangka terutama tersusun dari tulang, rangka di sebagian tempat dilengkapi dengan kartilago. Rangka dapat digolongkan menjadi:
1. Rangka aksial
Terdiri dari 80 tulang yang membentuk aksis panjang tubuh dan melindungi organ-organ pada kepala, leher, dan torso.
2. Rangka apendikular
Terdiri dari 126 tulang yang membentuk lengan, tungkai, dan tulang pektoral serta tonjolan pelvis yang menjadi tempat melekatnya lengan dan tungkai pada rangka aksial.
3. Persendian
Artikulasi dari dua tulang atau lebih.

Gambar 6. The skeleton: axial and appendicular
Sumber: Peate & Nair (2015)




















Pada bahasan ini, akan dijelaskan mengenai rangka apendikular. Rangka apendikular terdiri dari:
1. Girdel pektoral
Memiliki dua tulang, klavikula dan skapula.
2. Lengan atas
Tersusun dari tulang lengan (humerus), tulang lengan bawah (ulna dan radius), dan tulang tangan (karpus/karpal).
3. Girdel pelvis
Terdiri dari dua tulang panggul (disebut juga ossa koksa/tulang tanpa nama, atau tulang pelvis) yang bertemu pada sisi snterior simfisis pubis dan berartikulasi di sisi posterior dengan sakrum.
4. Tungkai bawah
Secara anatomis, bagian proksimal dari tungkai bawah antara girdel pelvis dan lutut adalah paha; bagian antara lutut dan pergelangan kaki adalah tungkai. Pada tungkai bawah terdapat femur, tulang tungkai (tulang tibia/besar dan tulang fibula/kecil), serta tulang tarsal (Sloane, 2003).

Gambar 7. Bones of the leg: the right tibia and fibula are shown
Sumber: Putte et al. (2016)



















DAFTAR REFERENSI:

Peate, I. & Nair, M. (2015). Anatomy and physiology for nurses at a glance. UK: John Wiley & Sons, Ltd.

Putte, C. V., Regan, J., & Russo, A. (2016). Seeley’s essentials of anatomy & physiology. (9th ed.). USA: McGraw-Hill Education.

Risnanto & Insani, U. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan medikal bedah: sistem muskuloskeletal. Yogyakarta: Deepublish.

Sloane, E. (2003). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Alih bahasa oleh James Veldman; editor bahasa indonesia oleh Palupi Widyastuti. Jakarta: EGC.

Wednesday 20 May 2020

Psikososial pada Pasien Ginekologi

Sumber: Neherta (2017)


















Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata “psiko” dan “sosial”. Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI, n.d.). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor psikologis (Chaplin, 2011). Menurut Nanda (2012), masalah-masalah psikososial seperti berduka, keputusasaan, ansietas, ketidakberdayaan, risiko penyimpangan perilaku sehat, gangguan citra tubuh, koping tidak efektif, koping keluarga tidak efektif, sindroma post trauma, penampilan peran tidak efektif, dan harga diri rendah situasional.

Ginekologi berasal dari kata gynaecology yaitu sebuah ilmu yang mempelajari kewanitaan (science of women). Secara khusus, ginekologi adalah ilmu yang mempelajari dan menangani kesehatan alat reproduksi wanita (organ kandungan yang terdiri dari rahim, vagina, dan indung telur (Wagiyo & Putrono, 2016). Ginekologi (ilmu kandungan) merupakan ilmu yang mempelajari alat kandungan di luar kehamilan. Seseorang mulai melihat perbedaan kelainan alat dan fungsi reproduksi, di luar proses kehamilan, seperti gangguan haid, infeksi dan tumor. Pada ginekologi bentuk pelayanan klinisnya tidak seragam karena untuk tiap bentuk kelainan, patogenesisnya berbeda-beda (Karjatin, 2016).

Menurut Karjatin (2016), masalah yang terkait dengan fungsi reproduksi dapat terjadi di sepanjang kehidupan wanita. Masalah yang paling banyak ditemui adalah gangguan menstruasi, berkaitan perdarahan uterus disfungsional, infeksi, kesulitan selama periode klimakterium dan periode setelah klimakterium, yang berkaitan dengan perubahan pada sistem genitourinarius dan sistem reproduksi, serta neoplasma pada serviks, ovarium, uterus dan payudara yang sering terjadi pada wanita usia subur. Ketika dihadapkan dengan masalah kesehatan reproduksi, wanita tidak hanya mengalami pengaruh fisiologis, tetapi juga pengaruh terhadap psikososial yang berhubungan dengan konsep dirinya.

Sebagai salah satu contoh adalah pasien dengan masalah kesehatan reproduksi adalah klimakterium. Klimakterium mengacu pada periode kehidupan seorang wanita saat ia berpindah dari tahap reproduktif ke tahap tidak reproduktif, disertai regresi fungsi ovarium. Pramenopause adalah fase pertama klimakterium saat fertilitas menurun dan menstruasi menjadi tidak teratur. Fase ini berlangsung beberapa bulan atau beberapa tahun. Gejala-gejala yang mengganggu antara lain: ketidakstabilan vasomotor, keletihan, nyeri kepala dan gangguan emosi. Menopause adalah titik dimana menstruasi berhenti. Usia rata-rata menopause yaitu 51,4 tahun, tetapi 10% wanita berhenti pada usia 40 dan 5% tidak berhenti menstruasi sampai usia 60 tahun. Perimenopause yang secara kasar merupakan periode yang sama dengan klimakterium, meliputi: pramenopause, menopause serta sekurang-kurangnya satu tahun setelah menopause. Pascamenopause adalah fase setelah menopause ketika gejala-gejala yang terkait dengan penurunan hormon ovarium, seperti atrofi vagina dan osteoporosis dapat terjadi. Jika dilihat dari gejalanya, sekitar 20% wanita tidak mengalami gejala, kebanyakan wanita mengalami gejala ringan sampai sedang (jarang memerlukan perhatian medis) dan berbeda dengan beberapa wanita yang sampai mengalami gejala berat (Karjatin, 2016).

Menurut Karjatin (2016), psikososial pada periode klimakterium yaitu terjadi perubahan mood, iritabilitas, ansietas dan depresi yang seringkali dihubungkan dengan perimenopause. Wanita secara emosional merasa lebih labil, gugup atau gelisah. Stres kehidupan dapat memperburuk menopause. Menghadapi anak remaja, membantu orang tua yang lanjut usia, menjadi janda atau bercerai dan berduka karena teman dan keluarga sakit atau menjelang ajal adalah beberapa bentuk stres yang meningkatkan risiko masalah emosional yang serius. Kemampuan untuk mengatasi setiap stres melibatkan sekurang-kurangnya tiga faktor yaitu: persepsi individu atau pemahaman terhadap kejadian, sistem pendukung, serta mekanisme koping. Dengan demikian, perlunya dalam mengkaji seberapa banyak informasi tentang klimakterium yang dimiliki wanita tersebut, persepsinya tentang pengalaman stres, siapa yang dapat diandalkan untuk tempat bergantung dan meminta bantuan serta jenis-jenis ketrampilan kopingnya.

Pesan budaya juga mempengaruhi status emosi selama perimenopause. Banyak wanita mempersepsikan ketidakmampuan untuk mengandung sebagai suatu kehilangan yang bermakna. Seseorang melihat menopause sebagai langkah pertama untuk masuk ke usia tua dan menghubungkannya ke tampilan fisik (hilangnya kecantikan fisik). Sementara orang tua menderita kehilangan status, fungsi dan peran. Wanita yang mempersepsikan menopause sebagai waktu kehilangan kemungkinan akan mengalami depresi. Untuk wanita lain, menopause bukanlah suatu kehilangan, tetapi suatu kebebasan dari rasa takut terhadap menstruasi yang merepotkan dan rasa tidak nyaman akibat kontrasepsi. Terlepas dari pesan budaya yang kuat bahwa masa muda dihargai melebihi usia, wanita yang menghargai dirinya sendiri akan menyesuaikan diri dengan baik terhadap keadaan menopause (Karjatin, 2016).

Contoh lain yang bisa dikaji dalam masalah psikososial pada pasien ginekologi adalah sindrom premenstrual. Gejala psikososial yang kaitannya dengan emosional pada sindrom premenstrual meliputi sulit berkonsentrasi, timbul rasa takut, mudah marah, merasa tertekan, sulit tidur, dan timbul rasa nyeri pada perut bagian bawah. Gejala fisiknya seperti nyeri kepala, takikardi, anoreksia, perut bagian bawah dan payudara terasa penuh, perut kembung, nyeri pinggang, dan sebagainya (Manuaba, 1993).

Isu masalah lain yang berkaitan dengan psikososial ginekologi adalah tentang pemeriksaan keperawanan dan selaput dara. Banyak studi medis yang dilakukan dalam beberapa dekade baru-baru ini di berbagai negara menyatakan tidak ada basis fakta, ilmiah, atau medis untuk menggunakan ukuran, bentuk (morfologi), atau pun keutuhan selaput dara dalam menentukan apakah seorang perempuan telah mengalami penetrasi vagina, dan dengan demikian menentukan status “keperawanannya”. Lagi pula, evaluasi untuk memeriksa selaput dara sering dilakukan tanpa izin dari perempuan yang bersangkutan atau dalam situasi paksaan atau ancaman kekerasan. Pemeriksaan semacam ini dapat membahayakan perempuan dewasa maupun anak-anak secara psikologi dan (dalam beberapa kasus) secara fisik. Karena pemeriksaan ini secara medis tidak perlu dilakukan, maka tidak etis bagi dokter atau ahli kesehatan untuk melakukannya. Dalam budaya yang menghargai keperawanan sebelum menikah, indikator yang diasumsikan umumnya adalah selaput dara yang masih “utuh” dan darah di ranjang pengantin pada malam pertama akibat selaput dara yang “robek.” Berbagai studi medis dan ilmiah telah menyanggah asumsi tersebut dan menunjukkan tidak ada bukti yang dapat mendukungnya (Physicians for Human Rights, 2015).

Dalam pertimbangan etika, sebagaimana ditunjukkan dan diterima secara luas oleh komunitas perawatan kesehatan, tidak ada bukti medis atau ilmiah yang dapat mendukung pemeriksaan selaput dara untuk menentukan terjadinya penetrasi vagina. Pemeriksaan tersebut menjadi masalah medis dan hak asasi manusia yang serius jika dilakukan di luar keinginan perempuan yang bersangkutan, seperti yang sering terjadi. Pemeriksaan selaput dara yang dipaksakan merupakan perlakuan yang tidak manusiawi, kejam, atau merendahkan martabat yang dilarang oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT). Tergantung kondisi dalam pelaksanaannya, pemeriksaan selaput dara yang dipaksakan untuk tujuan menentukan “keperawanan” dapat juga menjadi bentuk penyiksaan. Pemeriksaan yang dipaksakan tersebut (dalam beberapa kondisi) ditemukan tidak hanya merupakan penyiksaan, tapi juga pemerkosaan. Dalam kasus Miguel Castro di Castro Prison v. Peru, Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menyatakan tindakan menyerahkan tahanan perempuan untuk “inspeksi” vagina menggunakan jari, yang dilakukan oleh beberapa orang di rumah sakit kepolisian, “merupakan pemerkosaan seksual dan dari dampaknya merupakan penyiksaan” yang melanggar hak atas perlakuan manusiawi yang tercantum dalam Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia, dan melanggar Konvensi Inter-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan. Pemeriksaan semacam ini dapat membahayakan perempuan dewasa maupun anak-anak secara psikologi dan (dalam beberapa kasus) secara fisik (Physicians for Human Rights, 2015).


DAFTAR REFERENSI:

Chaplin, J. (2011). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Karjatin, A. (2016). Modul bahan ajar cetak keperawatan: keperawatan maternitas. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Manuaba, I. B. G. (1993). Penuntun diskusi obstetri dan ginekologi. Jakarta: EGC.

Neherta, M. (2017). Modul intervensi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Padang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Physicians for Human Rights. (2015). Tes keperawanan dan selaput dara: tidak ada basis fakta, ilmiah, atau medis. New York: Retrieved September 19, 2019, from https://s3.amazonaws.com/PHR_other/virginity-and-hymen-testing-indonesian.pdf

Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI. (n.d.). Dukungan psikososial bencana-fastering community resilience. Depok: Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI.

Wagiyo & Putrono. (2016). Asuhan keperawatan antenatal, intranatal dan bayi baru lahir: fisiologis dan patologis. (edisi 1). Yogyakarta: ANDI.