Wednesday, 20 May 2020

Psikososial pada Pasien Ginekologi

Sumber: Neherta (2017)


















Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata “psiko” dan “sosial”. Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI, n.d.). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor psikologis (Chaplin, 2011). Menurut Nanda (2012), masalah-masalah psikososial seperti berduka, keputusasaan, ansietas, ketidakberdayaan, risiko penyimpangan perilaku sehat, gangguan citra tubuh, koping tidak efektif, koping keluarga tidak efektif, sindroma post trauma, penampilan peran tidak efektif, dan harga diri rendah situasional.

Ginekologi berasal dari kata gynaecology yaitu sebuah ilmu yang mempelajari kewanitaan (science of women). Secara khusus, ginekologi adalah ilmu yang mempelajari dan menangani kesehatan alat reproduksi wanita (organ kandungan yang terdiri dari rahim, vagina, dan indung telur (Wagiyo & Putrono, 2016). Ginekologi (ilmu kandungan) merupakan ilmu yang mempelajari alat kandungan di luar kehamilan. Seseorang mulai melihat perbedaan kelainan alat dan fungsi reproduksi, di luar proses kehamilan, seperti gangguan haid, infeksi dan tumor. Pada ginekologi bentuk pelayanan klinisnya tidak seragam karena untuk tiap bentuk kelainan, patogenesisnya berbeda-beda (Karjatin, 2016).

Menurut Karjatin (2016), masalah yang terkait dengan fungsi reproduksi dapat terjadi di sepanjang kehidupan wanita. Masalah yang paling banyak ditemui adalah gangguan menstruasi, berkaitan perdarahan uterus disfungsional, infeksi, kesulitan selama periode klimakterium dan periode setelah klimakterium, yang berkaitan dengan perubahan pada sistem genitourinarius dan sistem reproduksi, serta neoplasma pada serviks, ovarium, uterus dan payudara yang sering terjadi pada wanita usia subur. Ketika dihadapkan dengan masalah kesehatan reproduksi, wanita tidak hanya mengalami pengaruh fisiologis, tetapi juga pengaruh terhadap psikososial yang berhubungan dengan konsep dirinya.

Sebagai salah satu contoh adalah pasien dengan masalah kesehatan reproduksi adalah klimakterium. Klimakterium mengacu pada periode kehidupan seorang wanita saat ia berpindah dari tahap reproduktif ke tahap tidak reproduktif, disertai regresi fungsi ovarium. Pramenopause adalah fase pertama klimakterium saat fertilitas menurun dan menstruasi menjadi tidak teratur. Fase ini berlangsung beberapa bulan atau beberapa tahun. Gejala-gejala yang mengganggu antara lain: ketidakstabilan vasomotor, keletihan, nyeri kepala dan gangguan emosi. Menopause adalah titik dimana menstruasi berhenti. Usia rata-rata menopause yaitu 51,4 tahun, tetapi 10% wanita berhenti pada usia 40 dan 5% tidak berhenti menstruasi sampai usia 60 tahun. Perimenopause yang secara kasar merupakan periode yang sama dengan klimakterium, meliputi: pramenopause, menopause serta sekurang-kurangnya satu tahun setelah menopause. Pascamenopause adalah fase setelah menopause ketika gejala-gejala yang terkait dengan penurunan hormon ovarium, seperti atrofi vagina dan osteoporosis dapat terjadi. Jika dilihat dari gejalanya, sekitar 20% wanita tidak mengalami gejala, kebanyakan wanita mengalami gejala ringan sampai sedang (jarang memerlukan perhatian medis) dan berbeda dengan beberapa wanita yang sampai mengalami gejala berat (Karjatin, 2016).

Menurut Karjatin (2016), psikososial pada periode klimakterium yaitu terjadi perubahan mood, iritabilitas, ansietas dan depresi yang seringkali dihubungkan dengan perimenopause. Wanita secara emosional merasa lebih labil, gugup atau gelisah. Stres kehidupan dapat memperburuk menopause. Menghadapi anak remaja, membantu orang tua yang lanjut usia, menjadi janda atau bercerai dan berduka karena teman dan keluarga sakit atau menjelang ajal adalah beberapa bentuk stres yang meningkatkan risiko masalah emosional yang serius. Kemampuan untuk mengatasi setiap stres melibatkan sekurang-kurangnya tiga faktor yaitu: persepsi individu atau pemahaman terhadap kejadian, sistem pendukung, serta mekanisme koping. Dengan demikian, perlunya dalam mengkaji seberapa banyak informasi tentang klimakterium yang dimiliki wanita tersebut, persepsinya tentang pengalaman stres, siapa yang dapat diandalkan untuk tempat bergantung dan meminta bantuan serta jenis-jenis ketrampilan kopingnya.

Pesan budaya juga mempengaruhi status emosi selama perimenopause. Banyak wanita mempersepsikan ketidakmampuan untuk mengandung sebagai suatu kehilangan yang bermakna. Seseorang melihat menopause sebagai langkah pertama untuk masuk ke usia tua dan menghubungkannya ke tampilan fisik (hilangnya kecantikan fisik). Sementara orang tua menderita kehilangan status, fungsi dan peran. Wanita yang mempersepsikan menopause sebagai waktu kehilangan kemungkinan akan mengalami depresi. Untuk wanita lain, menopause bukanlah suatu kehilangan, tetapi suatu kebebasan dari rasa takut terhadap menstruasi yang merepotkan dan rasa tidak nyaman akibat kontrasepsi. Terlepas dari pesan budaya yang kuat bahwa masa muda dihargai melebihi usia, wanita yang menghargai dirinya sendiri akan menyesuaikan diri dengan baik terhadap keadaan menopause (Karjatin, 2016).

Contoh lain yang bisa dikaji dalam masalah psikososial pada pasien ginekologi adalah sindrom premenstrual. Gejala psikososial yang kaitannya dengan emosional pada sindrom premenstrual meliputi sulit berkonsentrasi, timbul rasa takut, mudah marah, merasa tertekan, sulit tidur, dan timbul rasa nyeri pada perut bagian bawah. Gejala fisiknya seperti nyeri kepala, takikardi, anoreksia, perut bagian bawah dan payudara terasa penuh, perut kembung, nyeri pinggang, dan sebagainya (Manuaba, 1993).

Isu masalah lain yang berkaitan dengan psikososial ginekologi adalah tentang pemeriksaan keperawanan dan selaput dara. Banyak studi medis yang dilakukan dalam beberapa dekade baru-baru ini di berbagai negara menyatakan tidak ada basis fakta, ilmiah, atau medis untuk menggunakan ukuran, bentuk (morfologi), atau pun keutuhan selaput dara dalam menentukan apakah seorang perempuan telah mengalami penetrasi vagina, dan dengan demikian menentukan status “keperawanannya”. Lagi pula, evaluasi untuk memeriksa selaput dara sering dilakukan tanpa izin dari perempuan yang bersangkutan atau dalam situasi paksaan atau ancaman kekerasan. Pemeriksaan semacam ini dapat membahayakan perempuan dewasa maupun anak-anak secara psikologi dan (dalam beberapa kasus) secara fisik. Karena pemeriksaan ini secara medis tidak perlu dilakukan, maka tidak etis bagi dokter atau ahli kesehatan untuk melakukannya. Dalam budaya yang menghargai keperawanan sebelum menikah, indikator yang diasumsikan umumnya adalah selaput dara yang masih “utuh” dan darah di ranjang pengantin pada malam pertama akibat selaput dara yang “robek.” Berbagai studi medis dan ilmiah telah menyanggah asumsi tersebut dan menunjukkan tidak ada bukti yang dapat mendukungnya (Physicians for Human Rights, 2015).

Dalam pertimbangan etika, sebagaimana ditunjukkan dan diterima secara luas oleh komunitas perawatan kesehatan, tidak ada bukti medis atau ilmiah yang dapat mendukung pemeriksaan selaput dara untuk menentukan terjadinya penetrasi vagina. Pemeriksaan tersebut menjadi masalah medis dan hak asasi manusia yang serius jika dilakukan di luar keinginan perempuan yang bersangkutan, seperti yang sering terjadi. Pemeriksaan selaput dara yang dipaksakan merupakan perlakuan yang tidak manusiawi, kejam, atau merendahkan martabat yang dilarang oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT). Tergantung kondisi dalam pelaksanaannya, pemeriksaan selaput dara yang dipaksakan untuk tujuan menentukan “keperawanan” dapat juga menjadi bentuk penyiksaan. Pemeriksaan yang dipaksakan tersebut (dalam beberapa kondisi) ditemukan tidak hanya merupakan penyiksaan, tapi juga pemerkosaan. Dalam kasus Miguel Castro di Castro Prison v. Peru, Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menyatakan tindakan menyerahkan tahanan perempuan untuk “inspeksi” vagina menggunakan jari, yang dilakukan oleh beberapa orang di rumah sakit kepolisian, “merupakan pemerkosaan seksual dan dari dampaknya merupakan penyiksaan” yang melanggar hak atas perlakuan manusiawi yang tercantum dalam Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia, dan melanggar Konvensi Inter-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan. Pemeriksaan semacam ini dapat membahayakan perempuan dewasa maupun anak-anak secara psikologi dan (dalam beberapa kasus) secara fisik (Physicians for Human Rights, 2015).


DAFTAR REFERENSI:

Chaplin, J. (2011). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Karjatin, A. (2016). Modul bahan ajar cetak keperawatan: keperawatan maternitas. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Manuaba, I. B. G. (1993). Penuntun diskusi obstetri dan ginekologi. Jakarta: EGC.

Neherta, M. (2017). Modul intervensi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Padang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Physicians for Human Rights. (2015). Tes keperawanan dan selaput dara: tidak ada basis fakta, ilmiah, atau medis. New York: Retrieved September 19, 2019, from https://s3.amazonaws.com/PHR_other/virginity-and-hymen-testing-indonesian.pdf

Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI. (n.d.). Dukungan psikososial bencana-fastering community resilience. Depok: Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI.

Wagiyo & Putrono. (2016). Asuhan keperawatan antenatal, intranatal dan bayi baru lahir: fisiologis dan patologis. (edisi 1). Yogyakarta: ANDI.

No comments:

Post a Comment