Monday, 20 April 2020

Hiperbilirubin (Pengertian, Etiologi, dan Klasifikasi)

Sumber: Stevenson, Maisels, & Watchko (2012).
















Bilirubin merupakan suatu produk utama dalam pemecahan sel darah merah pada sistem retikuloendotelial. Sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan zat-zat lain. Kadar bilirubin serum normal pada bayi baru lahir adalah kurang dari 2 mg/dL. Pada konsentrasi yang berlebihan yaitu sekitar 5 mg/dL, bilirubin akan tampak secara klinis berupa warna kuning pada kulit dan membran mukosa yang disebut ikterus. Ikterus biasanya ditemukan pada minggu pertama setelah kelahiran. Kejadian ikterus 50% terjadi pada bayi cukup bulan aterm dan 75% bayi kurang bulan atau preterm (Winkjosastro, 2002).

Istilah hiperbilirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin terakumulasi dalam darah dan ditandai dengan jaundis atau ikterus. Hiperbilirubinemia merupakan temuan biasa pada bayi baru lahir dan pada kebanyakan kasus relatif jinak. Akan tetapi hal ini, bisa juga menunjukkan keadaan patologis (Wong et al, 2009). Hiperbilirubin adalah suatu keadaan yang terjadi pada bayi baru lahir di mana kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus. Keadaan ini terjadi pada bayi baru lahir yang sering disebut sebagai ikterus neonatorum yang merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstra vaskuler sehingga konjungtiva, kulit dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga berpotensi besar terjadi karena ikterus yang merupakan kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak (Yuliastati, Arnis, & Nining, 2016). 

Hal yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada umumnya adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim Glucose 6 Phosphate Dehydrogenase (G6PD). Hemolisis ini dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup atau inkompatabilitas golongan darah Rhesus (Rh). Infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia seperti penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia atau anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan polisitemia (Campbell, 2013). 

Peningkatan kadar bilirubin dalam tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Misalnya, pada penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah jika terdapat gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra maupun ekstra hepatik (Anggraini, 2014).

Pada derajat tertentu, bilirubin akan bersifat toksik dan dapat merusak jaringan tubuh. Toksisitas ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Hal ini dapat memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi disebut kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya kelainan tersebut dapat terjadi pada sususnan saraf pusat jika kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dL. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi (Gunasegaran, 2012).

Klasifikasi hiperbilirubinemia, meliputi: 
1. Hiperbilirubinemia fisiologis 
Hiperbilirubinemia fisiologis tidak terjadi pada hari pertama setelah bayi dilahirkan (muncul setelah 24 jam). Biasanya peningkatan bilirubin total tidak lebih dari 5 mg/dL perhari. Pada bayi cukup bulan peningkatan bilirubin mencapai puncaknya pada 72 jam dengan serum bilirubin sebanyak 6-8 mg/dL. Selama 3 hari, kadar bilirubin akan meningkat sebanyak 2-3 mg/dL dan pada hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai dengan 3 mg/dL (Hackel, 2013). Setelah hari ke-5, serum bilirubin akan turun secara perlahan sampai dengan normal pada umur bayi sekitar 11-12 hari. Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) atau pun prematur bilirubin mencapai puncak pada 120 jam dengan peningkatan serum bilirubin sebesar 10-15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu (Mansjoer, 2013). 
2. Hiperbilirubinemia patologis/non fisiologis 
Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus akan timbul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Serum bilirubin totalnya akan meningkat lebih dari 5 mg/dL perhari. Pada bayi cukup bulan, serum bilirubin total meningkat sebanyak 12 mg/dL, sedangkan pada bayi prematur serum bilirubin total meningkat sebanyak 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung lebih dari satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi prematur (Imron & Metti, 2015). Pembentukan bilirubin yang berlebihan dapat disebabkan karena adanya hemolisis, hemoglobin (Hb) dan eritrosit abnormal (Hb S pada anemia sel sabit), inkompabilitas ABO, defisiensi enzim Glucose 6 Phosphate Dehydrogenase (G6PD), sepsis, obat-obatan seperti oksitosin, pemotongan tali pusat yang lambat, dan sebagainya. 

Dalam ringkasan hiperbilirubin (pengertian, etiologi, dan klasifikasi) di atas dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar serum bilirubin di dalam darah meningkat dan melebihi batas nilai normal bilirubin serum. Hiperbilirubinemia ada yang fisiologis dan ada juga yang patologis (non fisiologis). Hal yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada umumnya adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim Glucose 6 Phosphate Dehydrogenase (G6PD).


DAFTAR REFERENSI:

Anggraini, H. (2014). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ikterus pada neonatal. Bandar Lampung: Kebidanan STIKes Aisyah. Retrieved May 18, 2019, from https://aisyah.journalpress.id/index.php/jika/article/download/HA/6

Campbell, D. (2013). Incindence and causes of severe neonatal hyperbilirubinemia in canada. Canadian Medical Association Journal, 175(6):587-588.

Gunasegaran, P. D. (2012). Gambaran bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia di rsup h. adam malik pada tahun 2011. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Retrieved May 18, 2019, from http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3795/Cover.pdf?sequence=7&isAllowed=y

Hackel, E. (2013). Blood factor incompatibility in the etiology of mental deficiency. Retrieved May 18, 2019, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1716538/pdf/ajhg00413-0027.pdf

Imron R, & Metti, D. (2015). Peningkatan angka kejadian hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dikarenakan berat badan lahir yang rendah (bblr). Jurnal Keperawatan, 9(1): Hal 47-49.

Mansjoer, A. (2013). Kapita selekta kedokteran jilid 2. (edisi 3). Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Stevenson, D. K., Maisels, M. J., & Watchko, J. F. (2012). Care of the jaundiced neonate. United States: The McGraw-Hill Companies.

Winkjosastro, H. (2012). Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wong, D. L. et al. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik wong. (edisi 6, volume 1). Alih bahasa oleh Agus Sutarna, Neti Juniarti, & H. Y. Kuncara; editor bahasa indonesia oleh Egi Komara Yudha, Devi Yulianti, Nike Budhi Subekti, Esty Wahyuningsih, & Monica Ester. Jakarta: EGC.

Yuliastati, Arnis, A., & Nining. (2016). Modul bahan ajar cetak keperawatan: keperawatan anak. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

No comments:

Post a Comment