Saturday 18 April 2020

Stop Stigma Negatif Pada Orang Yang Terinfeksi Coronavirus (Penderita COVID-19)

Hallo sobatku...
Apa kabarnya kalian hari ini?
Semoga selalu diberi limpahan kesehatan ya πŸ™...

Kali ini author akan memposting suatu topik bahasan yang sedang tren, hangat-hangatnya, dan memang harus diketahui kita semua.
Mungkin dari sobat sekalian, sudah tahu apa itu coronavirus, cara penularan atau penyebarannya, serta dampaknya bila seseorang telah terjangkit atau menjadi penderita penyakit COVID-19. Memang benar, dampak yang paling buruk dari segi fisik penderita penyakit COVID-19 adalah gagal napas akut, dimana terjadi kegagalan pernapasan parah yang bisa berujung dengan kematian. Namun, author tidak membahas akan hal itu.

Lalu, topik apa yang akan dibahas?
Baca πŸ‘€πŸ“ƒ sampai akhir postingan ya sobat πŸ˜„

Pada tanggal 30 Januari 2020, World Health Organization (WHO) mengumumkan wabah sebuah coronavirus baru (COVID-19) sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (World Health Organization, 2020). Coronavirus adalah zoonosis atau virus yang ditularkan antara hewan dan manusia. Virus dan penyakit ini diketahui berawal di kota Wuhan, Cina sejak Desember 2019 (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 2020). Penyebaran COVID-19 terjadi cepat dan meluas karena dapat menular melalui kontak dari manusia ke manusia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2020). Presiden Republik Indonesia telah menyatakan status penyakit ini menjadi tahap Tanggap Darurat pada tanggal 17 Maret 2020 (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 2020).

Pada dasarnya, setiap orang berisiko untuk terinfeksi coronavirus. Hal ini dikarenakan oleh penyebaran virus yang sungguh cepat. Jika sudah positif terkena atau terinfeksi coronovirus dan didiagnosis terkena penyakit COVID-19, banyak dampak yang akan terjadi kedepannya. Salah satunya yaitu berdampak pada psikologis atau mental dengan bentuknya berupa stigma. 

Lalu, apa itu stigma? 
Stigma adalah berbagai pandangan orang yang menilai diri kita negatif, hal yang kita lakukan negatif sampai pemikiran kita negatif (“Stigma”, February 2, 2020). Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya (Setiawan, n.d.). Stigma merupakan fenomena sosial yang kompleks yang melibatkan interaksi antara faktor sosial dan ekonomi serta masalah-masalah psikososial dari individu yang terkena. Stigma terjadi karena munculnya perbedaan dalam diri orang yang terstigma, walaupun perbedaan tersebut bukan disengaja atau bahkan perbedaan yang muncul karena tidak diinginkan (Wilandika, 2019).

Seseorang yang mengalami stigma maka akan memiliki kecenderungan untuk menjauhi orang, yang pada akhirnya tidak mau berinteraksi dengan lingkungan. Sama seperti yang diungkapkan Goffman (1963), bahwa stigma dikonseptualisasikan oleh masyarakat atas dasar apa yang merupakan penyimpangan, individu yang distigmatisasi adalah seseorang dengan perbedaan yang tidak diinginkan (Wilandika, 2019).

Kasus COVID-19 semakin merebak dan menimbulkan ketakutan serta kekhawatiran di kalangan masyarakat. Update per 17 April 2020, telah terkonfirmasi kasus COVID-19 sebanyak 5.923 kasus, dalam perawatan 4.796 kasus, sembuh 607 kasus, dan meninggal 520 kasus (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, April 17, 2020). Kasus COVID-19 bukan saja sekadar masalah penyakit fisik tetapi juga menjadi masalah psikologis dan sosial baik untuk penderitanya maupun masyarakat disekitarnya.

Banyaknya kasus COVID-19 di masyarakat Indonesia, menimbulkan pandangan yang berujung munculnya stigma negatif yang melekat kuat pada orang yang terkena (positif terinfeksi). Pandangan ini mengakibatkan keputusasaan, ketidakberdayaan, harapan yang pesimistik, dan persepsi tidak jelas yang akan membuat interpretasi salah terhadap fakta yang ada dengan cara negatif. Stigma yang muncul atau keyakinan diri yang timbul dapat berwujud prasangka yang menimbulkan diskriminasi.

Jika sobat lebih mendalam mengkaji terkait stigma, sobat akan mengetahui bahwasanya kehadiran stigma ini dapat dipengaruhi oleh interaksi sosial. Hal ini sesuai dengan ungkapan Berger et al. (2001), yang mana kehadiran stigma itu sebagai hasil dari pengalaman pribadi maupun persepsi terhadap sikap sosial. Pendapat lain menyebutkan bahwa terdapat empat perilaku sosial yang dapat membentuk terjadinya stigma yaitu labelling, stereotyping¸ outpgrouping, dan discrimination (Link & Phelan, 2001).

Di sisi lain, akibat stigma yang melekat pada penyakitnya (COVID-19), orang yang positif terinfeksi atau tertular akan merasa tidak dapat mendiskusikan kondisi mereka dengan keluarga, kerabat dekat, rekan kerja, dan teman-temannya. Tidak semua mampu terbuka tentang status positifnya. Hal ini dikarenakan stigma negatif yang sekarang beredar luas di masyarakat. Stigma negatif tersebut akan membuat ketakukan, kegelisahan, dan kekhawatiran di masyarakat. Takut akan tertular oleh penyakit COVID-19. Alhasil, orang yang telah terkonfirmasi (positif terinfeksi) akan dijauhi, dicemooh, bahkan sampai ada beberapa kasus dimana orang yang meninggal karena positif terinfeksi (tertular penyakit COVID-19) jenazahnya ditolak untuk dimakamkan di tempat pemakaman. Sungguh miris!!! πŸ˜”πŸ˜’πŸ˜­ 

Sobatku, coba kita sejenak berpikir πŸ’¬πŸ’­...
Andaikan hal tersebut terjadi pada keluarga kita, saudara kita, kerabat dekat kita, rekan kerja kita, teman kita, bahkan kita sendiri. Betapa memilukannya, bukan? πŸ˜”πŸ˜’πŸ˜­ 

Kita sebagai manusia berhak untuk hidup dan mati dengan layak. Jika, diantara sobat sekalian sekarang ini berjumpa dengan orang yang terkonfirmasi (positif terinfeksi coronavirus) ataupun sudah terdiagnosis penyakit COVID-19, berikanlah dukungan, support, motivasi, dan doa agar selalu diberikan limpahan kesehatan serta disembuhkan penyakitnya.

Stop Stigmatisasi Penderita COVID-19



DAFTAR REFERENSI:

Berger, B. E., Ferrans, C. E., & Lashley, F. R. (2001). Measuring stigma in people with HIV: psychometric assessment of the HIV stigma scale. Research in nursing & health, 24(6), 518-529.

Goffman, E. (1963). Stigma: notes on the management of spoiled identity. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (2020). Pedoman penanganan cepat medis dan kesehatan masyarakat covid-19 di indonesia. 1–38. Retrieved April 18, 2020, from https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Pedoman_Penanganan_Cepat_Medis_dan_Kesehatan_Masyarakat_COVID-19_di_Indonesia.pdf.pdf

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (2020, April 17). Dashboard pemantauan kasus covid-19: situasi covid-19 di indonesia. Retrieved April 18, 2020, from http://covid19.bnpb.go.id/

Link, B. G. & Phelan, J. C. (2001). Conceptualizing stigma. Annual review of Sociology, 27(1), 363-385.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2020). Pnemonia covid-19: diagnosis & penatalaksanaan di indonesia. Jakarta: PDPI.

Setiawan, E. (n.d.). Stigma. Retrieved April 18, 2020, from https://kbbi.web.id/stigma 

Stigma. (2020, February 2). Retrieved April 18, 2020, from https://id.wikipedia.org/wiki/Stigma

Wilandika, A. (2019). Penilaian petugas kesehatan pada orang dengan hiv/aids (odha) pada salah satu puskesmas di bandung. Jurnal Keperawatan, 10, 7–15.

World Health Organization (WHO). (2020). Materi komunikasi risiko covid-19 untuk fasilitas pelayanan kesehatan. Retrieved April 18, 2020, from https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/risk-communication-for-healthcare-facility.pdf?sfvrsn=9207787a_2

No comments:

Post a Comment