Wednesday, 20 May 2020

Psikososial pada Pasien Ginekologi

Sumber: Neherta (2017)


















Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata “psiko” dan “sosial”. Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI, n.d.). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor psikologis (Chaplin, 2011). Menurut Nanda (2012), masalah-masalah psikososial seperti berduka, keputusasaan, ansietas, ketidakberdayaan, risiko penyimpangan perilaku sehat, gangguan citra tubuh, koping tidak efektif, koping keluarga tidak efektif, sindroma post trauma, penampilan peran tidak efektif, dan harga diri rendah situasional.

Ginekologi berasal dari kata gynaecology yaitu sebuah ilmu yang mempelajari kewanitaan (science of women). Secara khusus, ginekologi adalah ilmu yang mempelajari dan menangani kesehatan alat reproduksi wanita (organ kandungan yang terdiri dari rahim, vagina, dan indung telur (Wagiyo & Putrono, 2016). Ginekologi (ilmu kandungan) merupakan ilmu yang mempelajari alat kandungan di luar kehamilan. Seseorang mulai melihat perbedaan kelainan alat dan fungsi reproduksi, di luar proses kehamilan, seperti gangguan haid, infeksi dan tumor. Pada ginekologi bentuk pelayanan klinisnya tidak seragam karena untuk tiap bentuk kelainan, patogenesisnya berbeda-beda (Karjatin, 2016).

Menurut Karjatin (2016), masalah yang terkait dengan fungsi reproduksi dapat terjadi di sepanjang kehidupan wanita. Masalah yang paling banyak ditemui adalah gangguan menstruasi, berkaitan perdarahan uterus disfungsional, infeksi, kesulitan selama periode klimakterium dan periode setelah klimakterium, yang berkaitan dengan perubahan pada sistem genitourinarius dan sistem reproduksi, serta neoplasma pada serviks, ovarium, uterus dan payudara yang sering terjadi pada wanita usia subur. Ketika dihadapkan dengan masalah kesehatan reproduksi, wanita tidak hanya mengalami pengaruh fisiologis, tetapi juga pengaruh terhadap psikososial yang berhubungan dengan konsep dirinya.

Sebagai salah satu contoh adalah pasien dengan masalah kesehatan reproduksi adalah klimakterium. Klimakterium mengacu pada periode kehidupan seorang wanita saat ia berpindah dari tahap reproduktif ke tahap tidak reproduktif, disertai regresi fungsi ovarium. Pramenopause adalah fase pertama klimakterium saat fertilitas menurun dan menstruasi menjadi tidak teratur. Fase ini berlangsung beberapa bulan atau beberapa tahun. Gejala-gejala yang mengganggu antara lain: ketidakstabilan vasomotor, keletihan, nyeri kepala dan gangguan emosi. Menopause adalah titik dimana menstruasi berhenti. Usia rata-rata menopause yaitu 51,4 tahun, tetapi 10% wanita berhenti pada usia 40 dan 5% tidak berhenti menstruasi sampai usia 60 tahun. Perimenopause yang secara kasar merupakan periode yang sama dengan klimakterium, meliputi: pramenopause, menopause serta sekurang-kurangnya satu tahun setelah menopause. Pascamenopause adalah fase setelah menopause ketika gejala-gejala yang terkait dengan penurunan hormon ovarium, seperti atrofi vagina dan osteoporosis dapat terjadi. Jika dilihat dari gejalanya, sekitar 20% wanita tidak mengalami gejala, kebanyakan wanita mengalami gejala ringan sampai sedang (jarang memerlukan perhatian medis) dan berbeda dengan beberapa wanita yang sampai mengalami gejala berat (Karjatin, 2016).

Menurut Karjatin (2016), psikososial pada periode klimakterium yaitu terjadi perubahan mood, iritabilitas, ansietas dan depresi yang seringkali dihubungkan dengan perimenopause. Wanita secara emosional merasa lebih labil, gugup atau gelisah. Stres kehidupan dapat memperburuk menopause. Menghadapi anak remaja, membantu orang tua yang lanjut usia, menjadi janda atau bercerai dan berduka karena teman dan keluarga sakit atau menjelang ajal adalah beberapa bentuk stres yang meningkatkan risiko masalah emosional yang serius. Kemampuan untuk mengatasi setiap stres melibatkan sekurang-kurangnya tiga faktor yaitu: persepsi individu atau pemahaman terhadap kejadian, sistem pendukung, serta mekanisme koping. Dengan demikian, perlunya dalam mengkaji seberapa banyak informasi tentang klimakterium yang dimiliki wanita tersebut, persepsinya tentang pengalaman stres, siapa yang dapat diandalkan untuk tempat bergantung dan meminta bantuan serta jenis-jenis ketrampilan kopingnya.

Pesan budaya juga mempengaruhi status emosi selama perimenopause. Banyak wanita mempersepsikan ketidakmampuan untuk mengandung sebagai suatu kehilangan yang bermakna. Seseorang melihat menopause sebagai langkah pertama untuk masuk ke usia tua dan menghubungkannya ke tampilan fisik (hilangnya kecantikan fisik). Sementara orang tua menderita kehilangan status, fungsi dan peran. Wanita yang mempersepsikan menopause sebagai waktu kehilangan kemungkinan akan mengalami depresi. Untuk wanita lain, menopause bukanlah suatu kehilangan, tetapi suatu kebebasan dari rasa takut terhadap menstruasi yang merepotkan dan rasa tidak nyaman akibat kontrasepsi. Terlepas dari pesan budaya yang kuat bahwa masa muda dihargai melebihi usia, wanita yang menghargai dirinya sendiri akan menyesuaikan diri dengan baik terhadap keadaan menopause (Karjatin, 2016).

Contoh lain yang bisa dikaji dalam masalah psikososial pada pasien ginekologi adalah sindrom premenstrual. Gejala psikososial yang kaitannya dengan emosional pada sindrom premenstrual meliputi sulit berkonsentrasi, timbul rasa takut, mudah marah, merasa tertekan, sulit tidur, dan timbul rasa nyeri pada perut bagian bawah. Gejala fisiknya seperti nyeri kepala, takikardi, anoreksia, perut bagian bawah dan payudara terasa penuh, perut kembung, nyeri pinggang, dan sebagainya (Manuaba, 1993).

Isu masalah lain yang berkaitan dengan psikososial ginekologi adalah tentang pemeriksaan keperawanan dan selaput dara. Banyak studi medis yang dilakukan dalam beberapa dekade baru-baru ini di berbagai negara menyatakan tidak ada basis fakta, ilmiah, atau medis untuk menggunakan ukuran, bentuk (morfologi), atau pun keutuhan selaput dara dalam menentukan apakah seorang perempuan telah mengalami penetrasi vagina, dan dengan demikian menentukan status “keperawanannya”. Lagi pula, evaluasi untuk memeriksa selaput dara sering dilakukan tanpa izin dari perempuan yang bersangkutan atau dalam situasi paksaan atau ancaman kekerasan. Pemeriksaan semacam ini dapat membahayakan perempuan dewasa maupun anak-anak secara psikologi dan (dalam beberapa kasus) secara fisik. Karena pemeriksaan ini secara medis tidak perlu dilakukan, maka tidak etis bagi dokter atau ahli kesehatan untuk melakukannya. Dalam budaya yang menghargai keperawanan sebelum menikah, indikator yang diasumsikan umumnya adalah selaput dara yang masih “utuh” dan darah di ranjang pengantin pada malam pertama akibat selaput dara yang “robek.” Berbagai studi medis dan ilmiah telah menyanggah asumsi tersebut dan menunjukkan tidak ada bukti yang dapat mendukungnya (Physicians for Human Rights, 2015).

Dalam pertimbangan etika, sebagaimana ditunjukkan dan diterima secara luas oleh komunitas perawatan kesehatan, tidak ada bukti medis atau ilmiah yang dapat mendukung pemeriksaan selaput dara untuk menentukan terjadinya penetrasi vagina. Pemeriksaan tersebut menjadi masalah medis dan hak asasi manusia yang serius jika dilakukan di luar keinginan perempuan yang bersangkutan, seperti yang sering terjadi. Pemeriksaan selaput dara yang dipaksakan merupakan perlakuan yang tidak manusiawi, kejam, atau merendahkan martabat yang dilarang oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT). Tergantung kondisi dalam pelaksanaannya, pemeriksaan selaput dara yang dipaksakan untuk tujuan menentukan “keperawanan” dapat juga menjadi bentuk penyiksaan. Pemeriksaan yang dipaksakan tersebut (dalam beberapa kondisi) ditemukan tidak hanya merupakan penyiksaan, tapi juga pemerkosaan. Dalam kasus Miguel Castro di Castro Prison v. Peru, Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika menyatakan tindakan menyerahkan tahanan perempuan untuk “inspeksi” vagina menggunakan jari, yang dilakukan oleh beberapa orang di rumah sakit kepolisian, “merupakan pemerkosaan seksual dan dari dampaknya merupakan penyiksaan” yang melanggar hak atas perlakuan manusiawi yang tercantum dalam Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia, dan melanggar Konvensi Inter-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan. Pemeriksaan semacam ini dapat membahayakan perempuan dewasa maupun anak-anak secara psikologi dan (dalam beberapa kasus) secara fisik (Physicians for Human Rights, 2015).


DAFTAR REFERENSI:

Chaplin, J. (2011). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Karjatin, A. (2016). Modul bahan ajar cetak keperawatan: keperawatan maternitas. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Manuaba, I. B. G. (1993). Penuntun diskusi obstetri dan ginekologi. Jakarta: EGC.

Neherta, M. (2017). Modul intervensi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Padang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Physicians for Human Rights. (2015). Tes keperawanan dan selaput dara: tidak ada basis fakta, ilmiah, atau medis. New York: Retrieved September 19, 2019, from https://s3.amazonaws.com/PHR_other/virginity-and-hymen-testing-indonesian.pdf

Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI. (n.d.). Dukungan psikososial bencana-fastering community resilience. Depok: Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI.

Wagiyo & Putrono. (2016). Asuhan keperawatan antenatal, intranatal dan bayi baru lahir: fisiologis dan patologis. (edisi 1). Yogyakarta: ANDI.

Tuesday, 19 May 2020

Konsep Sehat dan Sakit dalam Komunitas

Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012)


Konsep sehat dan sakit senantiasa berubah sejalan dengan pemahaman manusia mengenai nilai, peran, penghargaan, dan persepsi manusia terhadap kesehatan. Di mulai pada zaman kecemasan Yunani bahwa sehat merupakan keadaan standar yang harus dicapai dan dibanggakan, sedangkan sakit sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. Setelah ditemukan kuman penyebab penyakit, batasan sehat juga ikut berubah. Seseorang dikatakan sehat apabila setelah dilakukan pemeriksaan secara seksama tidak ditemukan penyebab penyakit. Pada tahun 50-an, World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai keadaan sehat sejahtera fisik, mental, sosial, dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Lalu pada tahun 80-an, definisi sehat menurut WHO mengalami perubahan seperti yang tertera dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu memasukkan unsur hidup produktif baik sosial maupun ekonomi (Efendi & Makhfudli, 2009).

Konsep sehat dan sakit dalam komunitas pada dasarnya sama dengan konsep sehat dan sakit pada umumnya yang mana merupakan konsep multiinterpretasi. Setiap individu, keluarga, masyarakat, maupun profesi kesehatan mengartikan sehat/sakit secara berbeda-beda. Sehat diartikan sebagai kondisi yang normal dan alami, sedangkan sakit adalah keadaan yang tidak normal. Kesehatan memengaruhi tingkat fungsi seseorang, baik dari segi fisiologis, psikologis, dan dimensi sosiokultural. Banyak faktor yang memengaruhi kondisi sehat maupun sakit. Menurut Hendrik Bloom (1974), ada 4 faktor yang memengaruhi status kesehatan yaitu keturunan, layanan kesehatan, lingkungan, dan perilaku. Dari keempat faktor tersebut, yang mempunyai andil besar dalam derajat kesehatan adalah faktor lingkungan (45%) dan faktor perilaku (30%). Kedua faktor tersebut sangat berkaitan erat yang mana artinya lingkungan bisa sehat jika perilaku masyarakatnya sehat atau kerusakan lingkungan salah satunya dapat terjadi akibat faktor perilaku manusia (Asmadi, 2008).

Sebagai kesimpulannya, konsep sehat dan sakit dalam komunitas merupakan suatu keadaan sempurna baik fisik, mental, dan sosial serta tidak sedang menderita sakit atau kelemahan. Istilah sosial ini dikaitkan karena sosial berarti hidup bersama dalam kelompok dengan situasi yang saling membutuhkan satu dengan yang lain.


DAFTAR REFERENSI:

Asmadi. (2008). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC.

Efendi, F. & Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Buku pegangan kader posyandu: ayo ke posyandu setiap bulan. Jakarta: Kemenkes RI.

Saturday, 9 May 2020

Konsep Klien Kelompok Rentan: Narapidana

Sumber: " Penjara " (n.d.)






















Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU RI No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 7). Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU RI No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 3). Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (UU RI No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 6). Kehidupan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan merupakan bentuk dari konsekuensi hukuman atas perilaku melanggar hukum yang pernah dilakukan. Berbagai permasalahan dialami narapidana dalam menjalani kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan, diantaranya perubahan hidup, hilangnya kebebasan dan hak-hak yang semakin terbatas, hingga perolehan label panjahat yang melekat pada dirinya serta kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan membuat mereka harus terpisah dari keluarga dan hidup bersama dengan narapidana lain (Pratama, 2016).

Menurut Anas (2019), tujuan dari pembinaan narapidana adalah meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Selama berada dalam Lapas, narapidana mendapatkan pembinaan agar kelak dapat berfungsi secara layak di tengah masyarakat. Hal ini ditujukan agar narapidana dapat menerima kenyataan dan mengembangkan kesadaran diri, berfikir positif, memiliki kemandirian dan mempunyai kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu yang diinginkan (Azani, 2012). Proses pembinaan didalam Lapas diharapkan dapat membantu narapidana tetap dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Walaupun terdapat keterbatasan-keterbatasan yang merupakan peraturan di dalam penjara, akan tetapi narapidana diharapkan tetap berusaha meningkatkan kemampuannya.

Menurut Howard (1999), ada empat dampak utama dari pemenjaraan terhadap seseorang, yaitu:
1. Loss of liberty
Dimana seseorang kehilangan kebebasannya dalam jangka lama. Adanya perubahan lingkungan yang ekstrim dimana kehidupan sehari-hari yang bebas dan sedikit peraturan berubah menjadi lingkungan yang sangat ketat dan penuh peraturan.
2. Loss of autonomy
Narapidana kehilangan otonominya dimana narapidana kehilangan hak untuk menentukan pilihan bagi dirinya dalam beberapa hal. Di dalam penjara seseorang tidak memiliki pilihan sebagaimana orang bebas bahkan waktu untuk makan, pakaian apa yang harus dipakai sudah ditentukan.
3. Loss of security
Ketika seseorang ditempatkan dalam kedekatan yang berkepanjangan dengan narapidana lain yang memiliki sejarah kasus kekerasan dan agresifitas yang tinggi. situasi tersebut terbukti memicu gangguan kecemasan.
4. Loss of heterosexual relationships
Narapidana kehilangan kesempatan untuk berhubungan seksual dengan lawan jenis, sehingga dorongan seksualnya terhambat dan mengakibatkan narapidana mengalami frustasi.

Hasil dari observasi penelitian yang dilakukan oleh Ula (2014) di Lapas Wirogunan mengungkapkan fakta bahwa masih dijumpai narapidana yang mengalami stress dan depresi yang ditunjukkan dengan perilaku narapidana yang cenderung menarik diri dari pergaulan antar sesama narapidana, duduk termenung, dan pandangan tampak kosong. Hasil dari wawancara penelitian yang dilakukan oleh Ula (2014) juga mengungkapkan bahwa kebanyakan narapidana belum bisa menerima keadaan yang dihadapi, mengalami shock mental, merasa tidak berdaya menghadapi hidup di Lembaga Pemasyarakatan, merasa bersalah, menyalahkan hidup, berpandangan negatif terhadap masa depan, dan tidak mampu menggali arti dalam hidupnya. Ketika harus menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan, mereka merasa terkekang karena jauh dari cinta kasih orang-orang terdekatnya (Anas, 2019).

Menurut Pratama (2016), pemenjaraan yang terjadi pada narapidana seringkali muncul adanya rasa rendah diri dan kontak-kontak yang minim dengan dunia luar. Kondisi tersebut mengakibatkan para narapidana sukar untuk diterima kembali di tengah-tengah masyarakat ketika nantinya mereka bebas. Isolasi yang dialami narapidana menimbulkan efek yaitu tidak ada partisipasi sosial. Narapidana dianggap sebagai bagian masyarakat yang terkucilkan. Efek lain yang timbul adalah adanya tekanan-tekanan batin selama berada dalam hukuman penjara. Kondisi-kondisi tersebut dapat memunculkan kecenderungan-kecenderungan menutup diri dan usaha lari dari realitas yang traumatik. Seseorang yang pernah berstatus menjadi seorang narapidana juga berdampak pada sulitnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan sulit dipercaya untuk diberi tanggung jawab, sehingga sulit bagi para narapidana mendapatkan pekerjaan setelah mereka keluar dari hukuman penjaranya.


DAFTAR REFERENSI:

Anas, U. (2019). Kesejahteraan psikologis pada narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas iia yogyakarta berdasarkan faktor demografis narapidana. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Yogyakarta.

Azani. (2012). Gambaran psychological well-being mantan narapidana. Jurnal Emphaty, 1(01): 1-18.

Howard, J. (1999). Effects of long term incarceration. Retrieved September 10, 2019, from http://www.johnhoward.on.ca/wp-content/uploads/2014/09/jhs-alberta-report-effects-of-long-term-incarceration.pdf

Pratama, F. A. (2016). Kesejahteraan psikologis pada narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas iia sragen. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Penjara, sel penjara, tahanan gambar png. (n.d.). Retrieved May 9, 2020, from https://www.pngdownload.id/png-8mdiwe/

Republik Indonesia. (1995). Undang-undang republik indonesia nomor 12 tahun 1995  tentang pemasyarakatan. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara RI.

Ula, S. T. (2014). Makna hidup bagi narapidana. Jurnal Hisbah, 11(1): 15-36.

Thursday, 7 May 2020

Klasifikasi dan Patofisiologi Diare pada Anak Usia Toddler

Sumber: Shaleh (January 27, 2018)




















Menurut Kemenkes RI (2015), klasifikasi diare meliputi:
1. Untuk dehidrasi
a. Diare dehidrasi berat
Tanda gejalanya seperti letargi atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa minum atau malas minum, dan cubitan kulit perut kembali sangat lambat. Apabila terdapat dua atau lebih tanda-tanda tersebut dapat dikatakan anak mengalami diare dehidrasi berat.
b. Diare dehidrasi ringan/sedang
Tanda gejalanya seperti gelisah/rewel/mudah marah, mata cekung, haus atau minum dengan lahap, dan cubitan kulit perut kembali lambat. Apabila terdapat dua atau lebih tanda-tanda tersebut dapat dikatakan anak mengalami diare dehidrasi ringan/sedang.
c. Diare tanpa dehidrasi
Tidak cukup tanda-tanda untuk diklasifikasikan sebagai diare dehidrasi berat atau ringan/sedang.

2. Jika diare 14 hari atau lebih
a. Diare persisten berat
Tanda gejalanya dengan dehidrasi.
b. Diare persisten
Tanda gejalanya tanpa dehidrasi.

3. Jika ada darah dalam tinja
Biasa disebut dengan disentri.

Menurut Kapti & Azizah (2017), klasifikasi diare meliputi:
1. Berdasarkan volume tinja
a. Volume banyak
Pengeluaran tinja cair per hari > 1 liter.
b. Volume sedikit
Pengeluaran tinja cair per hari < 1 liter.

2. Berdasarkan durasi
a. Diare akut
- Diare yang berlangsung < 2 minggu.
- Biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit atau invasi virus serta dapat disebabkan oleh agen non-infeksi seperti keracunan makanan dan pengobatan.
- Dapat sembuh dengan sendirinya (sembuh dengan cepat).
b. Diare kronis
- Diare yang berlangsung > 2 minggu.
- Biasanya disebabkan oleh penyakit, obat-obatan, kelainan genetik atau penyakit berbahaya lainnya.
- Dapat sembuh > 4 minggu.

3. Berdasarkan patomekanisme
a. Diare sekretorik
- Merupakan kondisi dimana terdapat jumlah cairan yang berlebihan di lumen usus yang dapat menyebabkan kemampuan usus untuk reabsorbsi menurun.
- Biasanya disebabkan oleh agen infeksius tetapi dapat juga disebabkan oleh zat yang dapat membawa cairan ke usus.
- Agen infeksius seperti Vibrio cholerae, E. coli, Camylobacter jejuni, Salmonella, Shigella, dan Clostridium difficile, menyekresi toksin yang menyebabkan vili usus gagal mengabsorbsi natrium yang akan menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit. Kondisi tersebut mengakibatkan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus meningkat, sehingga merangsang usus untuk mengeluarkannya dan terjadilah diare.
- Agen non infeksi seperti bahan kimia yang diproduksi oleh sel kanker, produksi prostaglandin  pada pasien inflamasi usus dan zat-zat yang tidak dapat diabsorbsi dengan baik seperti asam lemak dan asam empedu juga akan menyebabkan peningkatan sekresi air ke dalam rongga usus.
- Seseorang dengan diare sekretorik akan memiliki volume feses > 1 liter per hari dengan pH yang normal dan tidak terdapat perbedaan volume feses meskipun puasa.
b. Diare osmotik
- Terjadi ketika adanya gangguan kemampuan usus untuk mereabsorbsi cairan.
- Penyebabnya seperti penurunan enzimatik (contohnya intoleransi laktosa), kelainan genetik yang menurun atau menghilangkan kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi tertentu, gula yang sulit diserap (sarbitol, mannitol atau laktosa), obat pencahar dan pemberian antibiotik, serta malabsorbsi lemak tertentu.
- Seseorang dengan diare osmotik akan memiliki volume feses < 1 liter per hari, fesesnya akan bersifat asam dan bersifat keasaman kalium daripada natrium.
c. Gangguan motilitas
- Motilitas usus dapat meningkat atau menurun dan keduanya dapat menyebabkan diare.
- Peningkatan motilitas usus dapat disebabkan oleh adanya agen infeksius yang menyebabkan perubahan pada usus karena adanya proses inflamasi, hal ini dapat mengakibatkan transport kotoran dalam usus menjadi lebih cepat sehingga kesempatan untuk reabsorbsi cairan di usus besar menjadi menurun.
- Penurunan motilitas juga dapat menyebabkan diare yang disebabkan oleh konstipasi yang kronis.

Menurut Yuliastati et al. (2016), patofisiologinya diare pada anak adalah berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya diare di antaranya karena faktor infeksi dimana proses ini diawali dengan masuknya mikroorganisme ke dalam saluran pencernaan kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan usus. Berikutnya terjadi perubahan dalam kapasitas usus sehingga menyebabkan gangguan fungsi usus dalam mengabsorpsi (penyerapan) cairan dan elektrolit. Dengan adanya toksis bakteri maka akan menyebabkan gangguan sistem transpor aktif dalam usus akibatnya sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit meningkat. Faktor malabsorpsi merupakan kegagalan dalam melakukan absorpsi yang mengakibatkan tekanan osmotic meningkat sehingga terjadi pergeseran cairan dan elektrolit ke dalam usus yang dapat meningkatkan rongga usus sehingga terjadi diare. Pada faktor makanan dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak diserap dengan baik sehingga terjadi peningkatan dan penurunan peristaltik yang mengakibatkan penurunan penyerapan makanan yang kemudian terjadi diare.


DAFTAR REFERENSI:

Kapti, R. E. & Azizah, N. (2017). Perawatan anak sakit di rumah. Malang: UB Press.

Republik Indonesia. (2015). Buku bagan: manajemen terpadu balita sakit (mtbs). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Shaleh. (2018, January 27). Mencegah diare pada anak. Retrieved May 7, 2020, from https://rumahshaleh.com/mencegah-diare-pada-anak/

Yuliastati, Arnis, A., & Nining. (2016). Modul bahan ajar cetak keperawatan: keperawatan anak. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Tuesday, 5 May 2020

Mekanika Pernapasan dan Faktor yang Mempengaruhinya

Sumber: Sherwood (2011)






















Sebagian besar orang berpikir bahwa respirasi sebagai proses menghirup dan menghembuskan udara. Namun, dalam fisiologi respirasi memiliki arti yang jauh lebih luas. Fungsi utama respirasi (pernapasan) adalah memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel tubuh dan untuk mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh sel (Sherwood, 2011).

Mekanika pernapasan (respiratory mechanics) adalah suatu hal mengapa udara dapat mengalir ke dalam paru dan apa saja yang menghalangi pengalirannya (Djojodibroto, 2009). Menurut Sherwood (2011) di dalam mekanika pernapasan, udara cenderung mengalir dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah dengan tekanan rendah (menuruni gradien tekanan). Udara mengalir masuk dan keluar paru selama tindakan bernapas karena berpindah mengikuti gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer yang berbalik arah secara bergantian dan ditimbulkan oleh aktivitas siklik otot pernapasan. Terdapat tiga tekanan yang berperan penting, yaitu:
1. Tekanan atmosfer (barometrik)
- Merupakan tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi.
- Ketinggian tekanan ini sama dengan 760 mmHg.
2. Tekanan intra-alveolus (tekanan intraparu)
- Merupakan tekanan di dalam alveolus.
- Setiap tekanan intra-alveolus berbeda dari tekanan atmosfer, maka udara terus mengalir sampai kedua tekanan seimbang (ekuilibrium).
3. Tekanan intrapleura (tekanan intrathoraks)
- Merupakan tekanan di dalam kantung pleura.
- Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah daripada tekanan atmosfer (rata-rata 756 mmHg saat istirahat).
- Tekanan intrapleura tidak menyeimbangkan diri dengan tekanan atmosfer atau intra-alveolus karena tidak ada komunikasi langsung antara rongga pleura dan atmosfer atau paru karena kantung pleura adalah suatu kantung tertutup tanpa lubang, maka udara tidak dapat masuk atau keluar meskipun mungkin terdapat gradien tekanan antara kantung pleura dan daerah sekitar.

Dapat disimpulkan dengan gambar sebagai berikut:

Gambar 1. Tekanan yang berperan penting dalam mekanika pernapasan
Sumber: Sherwood (2011)

















Menurut Sloane (2003) prinsip dasar mekanika pernapasan, meliputi:
1. Toraks adalah rongga tertutup kedap udara di sekeliling paru-paru yang terbuka ke atmosfer hanya melalui jalur sistem pernapasan.
2. Pernapasan adalah proses inspirasi (inhalasi) udara ke dalam paru-paru dan ekspirasi (ekshalasi) udara dari paru-paru ke lingkungan luar tubuh.
3. Sebelum inspirasi dimulai, tekanan udara atmosfer (sekitar 760 mmHg) sama dengan tekanan udara dalam alveoli yang disebut sebagai tekanan intra-alveolar (intrapulmonar).
4. Tekanan intrapleura dalam rongga pleura (ruang antar pleura) adalah tekanan sub-atmosfer, atau kurang dari tekanan intra-alveolar.
5. Peningkatan atau penurunan volume rongga toraks mengubah tekanan intrapleura dan intra-alveolar yang secara mekanik menyebabkan pengembangan atau pengempisan paru-paru.
6. Otot-otot inspirasi memperbesar rongga toraks dan meningkatkan volumenya, sedangkan otot-otot ekspirasi menurunkan volume rongga toraks.
a. Inspirasi membutuhkan kontraksi otot dan energi
- Diafragma yaitu otot berbentuk kubah yang jika sedang relaks akan memipih saat berkontraksi dan memperbesar rongga toraks ke arah inferior.
- Otot interkostal eksternal mengangkat rongga toraks ke arah anterior dan superior.
- Dalam pernapasan aktif atau pernapasan dalam, otot-otot sternokleidomastoid, pektoralis mayor, serratus anterior, dan otot skalena juga akan memperbesar rongga toraks.
b. Ekspirasi
Pada pernapasan yang tenang dipengaruhi oleh relaksasi otot dan disebut proses pasif. Pada ekspirasi dalam, otot interkostal internal menarik kerangka iga ke bawah dan otot abdomen berkontraksi sehingga mendorong isi abdomen menekan diafragma.

Menurut Djojodibroto (2009) secara umum udara mengalir karena ada perbedaan gradien tekanan. Perbedaan gradien tekanan udara di paru terjadi akibat adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya (daya kekuatan yang bekerja pada sistem pernapasan) sehingga dapat mengatasi ketiga kekuatan yang melawan gerak udara ketika masuk ke paru (three opposing forces). Faktor-faktor yang mempengaruhinya (daya kekuatan yang bekerja pada sistem pernapasan) yang dimaksud adalah dipengaruhi oleh perubahan volume paru (peran otot pernapasan) dan juga berhubungan dengan sifat elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis. Hal tersebut yang membuat udara dapat mengalir ke dalam paru dan dapat keluar kembali ke atmosfer. Sedangkan yang dimaksud dengan tiga kekuatan yang melawan gerak udara ketika masuk ke paru (three opposing forces), yaitu:
1. Kelentingan paru dan dinding dada.
2. Tahanan akibat gesekan dengan jalan napas, jaringan paru dan toraks.
3. Sifat kelembaman keseluruhan sistem.


DAFTAR REFERENSI:

Djojodibroto, R. D. (2009). Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC.

Sherwood, L. (2011). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. (edisi 6). Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit; editor bahasa indonesia oleh Nella Yesdelita. Jakarta: EGC.

Sloane, E. (2003). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Alih bahasa oleh James Veldman; editor bahasa indonesia oleh Palupi Widyastuti. Jakarta: EGC.

Monday, 4 May 2020

Triase Bencana

Pentingnya Pengobatan dan Perawatan Kesehatan di Lokasi Bencana 
- Prioritas utama di lokasi bencana ➞ untuk menyelamatkan korban yang terluka.
- Adanya kerja sama dari berbagai pihak ➞ petugas kesehatan (medis, paramedis), anggota militer, damkar, dan tenaga sukarelawan (Zailani et al, 2009).

Batas Waktu Untuk Menyelamatkan Hidup

Sumber: Zailani et al. (2009)


















Pengertian Triase Bencana 
- Triase (triage) berasal dari kata dalam bahasa Perancis yang berarti “ menyeleksi ”. Triase bencana adalah suatu sistem untuk menetapkan prioritas perawatan medis berdasarkan berat ringannya suatu penyakit ataupun tingkat kedaruratannya, agar dapat dilakukan perawatan medis yang terbaik kepada korban yang sebanyak-banyaknya, di dalam kondisi dimana tenaga medis ataupun sumber-sumber materi lainnya serba terbatas (Zailani et al, 2009).
- Triase dilakukan untuk mengidentifikasi secara cepat korban yang membutuhkan stabilisasi segera (perawatan di lapangan) dan mengidentifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan darurat (life-saving surgery) (Depkes RI, 2007).

Prinsip Triase Bencana
- Triase umumnya dilakukan untuk seluruh korban
- Waktu untuk triase per orang tidak lebih dari 30 detik
- Melaksanakan prioritas sesuai kategori tingkat kedaruratannya
- Pemasangan kartu triase (kode identifikasi korban) sesuai urutan ataupun kategori prioritasnya
- Triase dilakukan secara berulang-ulang (Zailani et al, 2009).

Metode Triase Bencana
- Simple Triage and Rapid Treatment (START)
- Metode tersebut telah dikembangkan atas pemikiran bahwa triase harus:
● Akurat
● Cepat
● Universal
- Metode tersebut menggunakan 4 macam observasi:
● Bisa berjalan
● Bernapas
● Sirkulasi darah
● Tingkat kesadaran (Zailani et al, 2009).

Alur Triase Bencana

Sumber: Zailani et al. (2009)
















Kategori Triase Bencana

Sumber: Zailani et al. (2009)















Kartu Triase Bencana

Sumber: Zailani et al. (2009)


















Jenis-jenis Triase Bencana
1. Triase di tempat
- Dilakukan di “ tempat korban ditemukan ” atau pada tempat penampungan yang dilakukan oleh tim Pertolongan Pertama atau Tenaga Medis Gawat Darurat.
- Mencakup pemeriksaan, klasifikasi, pemberian tanda dan pemindahan korban ke pos medis lanjutan (Depkes RI, 2007).

2. Triase medik
- Dilakukan saat korban memasuki pos medis lanjutan oleh tenaga medis yang berpengalaman (sebaiknya dipilih dari dokter yang bekerja di Unit Gawat Darurat, kemudian ahli anestesi dan terakhir oleh dokter bedah).
- Tujuan ➞ menentukan tingkat perawatan yang dibutuhkan oleh korban (Depkes RI, 2007).

3. Triase evakuasi
- Ditujukan pada korban yang dapat dipindahkan ke Rumah Sakit yang telah siap menerima korban bencana massal.
- Jika pos medis lanjutan dapat berfungsi efektif, jumlah korban dalam status “ merah ” akan berkurang, dan akan diperlukan pengelompokkan korban kembali sebelum evakuasi dilaksanakan.
- Tenaga medis di pos medis lanjutan berkonsultasi dengan Pos Komando dan Rumah Sakit tujuan berdasarkan kondisi korban untuk membuat keputusan korban mana yang harus dipindahkan terlebih dahulu, Rumah Sakit tujuan, jenis kendaraan dan pengawalan yang akan dipergunakan (Depkes RI, 2007).


DAFTAR REFERENSI:

Republik Indonesia. (2007). Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana (mengacu pada standar internasional). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Zailanai et al. (2009). Keperawatan bencana. (edisi pertama). Banda Aceh: Forum Keperawatan Bencana.

Sunday, 3 May 2020

Ingin Kembali Bisa Bersekolah

Sumber: Satriyo (2013)






















Dipagi hari yang cerah...
Terdengar suara ayam bersaut-sautan memamerkan suara gagahnya dalam berkokok. Burung-burung pun tidak ingin kalah dengan ayam. Mereka pun bercuit-cuitan. Terdengar pula seruan ibu memanggilku.
" Aldi bangun! Sudah pagi nih, nanti kamu terlambat pergi ke sekolah ".
" Ya, Bu! 😪 ".
" Cepetan mandi, pakai baju seragam sekolahnya yang sudah ibu siapkan di kursi 👔. Setelah itu, sarapan. Ibu udah buatin makanan kesukaan kamu nih! Nasi dengan telur mata sapi ".
" Asssyyiikk 😋. Ya, Bu! Aldi mandi dulu ".

Tiba-tiba...
" Bangun Aldi, udah siang ini! Nanti rezekimu dipatuk ayam, kalau bangunnya siang-siang! ".
" Eehmm!! Ya, Bu! ".
" Kalau sudah bangun, lekas cuci muka ya nak! Setelah itu, bantuin ibu jemurin baju di belakang rumah! ".
" Hhooaamm!!! 😫 Ternyata tadi cuma mimpi (gumamku) 😢 ".
" Aldi!!! Bangun nak! 💬 ".
" Ya Bu, Aldi udah bangun kok! ".

Hallo kakak-kakak...
Namaku Aldi Prawira, umurku 11 tahun. Aku tinggal bersama 👪 ayah, ibu, dan satu orang adik yaitu Naira, umurnya 1 tahun. Ayahku setiap harinya mencari barang-barang bekas (rongsokan) dan bila sudah banyak dapat dijual ke pengumpul rongsokan. Kegiatan ini dilakukan ayahku semenjak ia di PHK tiga tahun yang lalu dari tempatnya bekerja dulu. Sedangkan ibuku, hanya ibu rumah tangga biasa.

Aku pun demikian...
Untuk membantu kebutuhan sehari-hari dalam keluargaku, aku juga sama seperti ayah. Mencari barang-barang bekas di jalanan seperti botol bekas dan besi. Bagiku cukup lumayan, bila barang-barang tersebut laku dijual, aku pun mendapatkan uang.

Suatu ketika...
Disaat sedang mencari barang-barang bekas, aku lewat depan gedung sekolahku dulu 🏫. Aku melihat gedung Sekolah Dasar yang indah dihiasi pemandangan anak-anak yang bermain dengan riang gembira. Aku pun pernah merasakan kebahagiaan seperti itu disini. Namun, sekarang tidak lagi. Aku sudah putus sekolah dua tahun yang lalu. Orang tuaku tidak memiliki cukup biaya untukku bersekolah.

Kemudian...
Aku pun pergi meninggalkan gedung sekolah tercintaku itu dan melanjutkan perjalanan untuk mencari barang-barang rongsokan. Di sepanjang jalan, bermodalkan kantong plastik berwarna hitam berlapis dua, aku banyak mendapatkan besi-besi bekas (paku, baut, dan besi besar lainnya) dan juga botol bekas air mineral.

Pada salah satu sudut jalan...
Aku melihat tempat pembuangan sampah terbuka. Walaupun sampah yang nampak hanya sedikit, tetapi di sana aku mendapatkan beberapa botol bekas air mineral dan botol bekas minuman menyegarkan. Aku juga di sana mendapatkan besi-besi bekas seperti kunci, baut, dan engsel yang biasa dipasang di pintu rumah. Aku pun melirik ke sebuah remetan/buntalan kertas. Aku pun mengambilnya. Kemudian, aku mencoba membuka remetan/buntalan kertas tersebut secara perlahan agar menjadi untaian/lembaran kertas utuh.

Dan ternyata...
Ada dua lembaran kertas 📃. Pertama, terdapat ringkasan tulisan bahasa asing (inggris). Kedua, terdapat ringkasan hitung-hitungan (matematika). Aku pun melihat ringkasan-ringkasan tersebut. Mencoba memahami apa yang tertera dalam kertas tersebut. Untuk ringkasan matematika, aku paham. Tapi, pada ringkasan bahasa asing (inggris) aku sama sekali bingung. Jangankan arti dari kata per katanya, cara membacanya pun aku masih belum tahu. Disitulah, aku pun murung dan bersedih 😔😢.

Aku pun menangis 😭...
Tapi, hanya meneteskan air mata saja. Berharap waktu bisa diputar kembali. Berharap orang tuaku mempunyai uang yang banyak. Berharap aku tidak akan pernah putus sekolah. Karena pada dasarnya, dalam lubuk hatiku 💬, aku ingin kembali bisa bersekolah 📚🏫.


DAFTAR REFERENSI:

Satriyo, A. B. (2013). Perancangan film kartun " maka terpilihlah presiden yang pernah miskin " menggunakan teknik 2d hybrid animation. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Amikom Yogyakarta.

Saturday, 2 May 2020

Ngakunya Selebriti

Sumber: " Toko roti " (n.d.)


















Di suatu toko kue...
Aku bertemu dengan seseorang yang menurutku dia adalah orang yang aneh dan nyebelin. Aku tak tahu dia itu siapa dan memang tidak begitu penting bagiku untuk mengetahui siapa dia? Jelasnya, dia sedang berusaha merebut kue favoritku, dimana kala itu hanya tinggal satu-satunya yang tersisa di toko kue langgananku.

Oh ya, namaku Airin (26 tahun). Dan dia? Entahlah, aku pun tidak mengenalnya. Dia bilang, dia adalah seorang selebriti. Selebriti pria idaman. Sekali memandang wajah dan bentuk tubuhnya akan terpana istilah kerennya " meleleh ". Tapi, bagiku tidak demikian. Dia adalah orang yang nyebelin dan keras kepala, mungkin juga tukang makan banyak.

Hari itu...
Sehabis pulang dari bekerja paruh waktu (freelance), tidak lupa mampir ke toko kue langgananku. Lokasi toko kue tersebut terletak jauh dari pinggir jalan, tepatnya diantara gang-gang rumah warga. Walaupun demikian, toko kue tersebut ramai akan pengunjung.

Sesampainya disana...
Langsung saja aku menuju ke rak tempat kue favoritku diletakkan. Terlihat dari kejauhan, kue tersebut masih ada. Begitu kudekati, ternyata tinggal satu. Begituku pegang plastik pembungkus atasnya, tiba-tiba muncul pria aneh memakai topi hitam dan kecamata hitam disertai masker kain berwarna hitam, menghampiriku dan ingin merebut kue favoritku.

Dia pun berkata...
" Mbak, saya duluan yang lihat kue ini. Jadi, kue ini punya saya! ".
" Enak saja, saya sudah ambil duluan. Minggir!! Saya mau bayar ke kasir! (jawabku) ".
" Mbak, kue itu punya saya!! (kata dia) ".
" Mana ada! Maaf ya mas, saya sudah jumpa duluan. Lagian, kue ini sudah ditangan saya. Mas cari kue yang lain aja ya!! (jawabku) ".
" (Dia membuka pelan masker kainnya dan berbisik di telingaku) Mbak gak tahu saya ya? Saya ini selebriti loh? Masa mbak gak tahu? Coba lihat baik-baik (sambil membuka kacamata hitamnya kemudian dipakai kembali)? (tanya dia) ".
" (Memperhatikan dengan seksama) Maaf mas, saya tidak begitu kenal dengan Anda? Dan juga, tidak ingin tahu kalau Anda seorang selebriti. Yang jelas, saya hanya ingin membeli kue ini! (jawabku) ".
" Waduh, sampean gak tahu saya ini siapa toh??? Oke, no problem. Gini aja deh, saya perlu sekali dengan kue itu. Pacar saya minta dibeliin kue. Kue itu kelihatannya enak. Pertama lihat, saya rasa sudah jatuh cinta dengan kue itu. Jadi, please! Boleh ya, kue itu saya yang beli? (pinta dia) ".
" Maaf mas, gak bisa!!! Ini kue favorit saya. Lagian saya duluan yang pegang kuenya. Kue yang lain aja ya. Banyak noh! (menunjuk kue lainnya)! Enak semua kok, kue yang dijual di toko ini. Permisi mas, saya mau bayar kue ini ke kasir! (jawabku) ".

Dalam perjalanan menuju kasir, aku pun berbicara dalam hati...
" Apa memang dia selebriti? Soalnya beberapa bulan terakhir ini aku tidak pernah lagi nonton televisi. Atau, dia memang ingin membelikan untuk pacarnya? (Bucin 😒). Atau, jangan-jangan kue ini juga favorit dia? Soalnya ditawarin kue yang lainnya dia pun gak mau. Bisa jadi juga, dia itu pembohong? Ehmm,,,ya juga,,dasar bucin 😅!!! ".

Selesai membayar kue di kasir...
Aku pun keluar dari toko kue tersebut. Gak peduli aku dengan pria tadi. Pria aneh, nyebelin, dan gak jelas. Yang pasti, aku dapat membeli kue favoritku. Bila makan kue ini, hati pun senang. Eehhmm,,Yummy 😋!!!


DAFTAR REFERENSI:

Toko roti, toko, kafe, gambar png. (n.d.). Retrieved May 2, 2020, from https://www.pngdownload.id/png-8y2osk/

Procedures Basic Life Support (BLS)

Sumber: A-MED Ambulance Service (n.d.)


















If a victim is found in a situation with an early assessment there is a disturbance in the airway obstruction, there is no breath and or no pulse, then the helper must immediately take action called the Basic Life Support (BLS). Basic life support consists of a number of simple ways that can help maintain one's life temporarily. Some of these simple ways are how to master and free the airway, how to provide breathing assistance and how to help drain blood to an important place in the victim's body, so that the supply of oxygen to the brain is maintained to prevent the death of brain cells. Assessment and treatment carried out on basic life assistance is very important to continue further exposure. This must be done carefully and continuously including the response of victims in the relief process. If this action is carried out as a complete entity, this action is known as Cardio Pulmonary Resuscitation. 

Indication: 
1. Apnea 
Signs of apnea:
- There is no chest wall movement
- There is no respiratory air flow

2. Cardiac Arrest 
Signs of cardiac arrest:
- There is no pulse
- There is no breath 

Procedures: 
1. Make sure it's safe from danger 
- Self Safe
- Safe Victim
- Safe Environment

2. Check response or awareness 
- Call the victim*                           
- Pat the victim's shoulder*
* ➞ Done together
- Stimulation of pain: press the tip of the fingernail, rubbing the chest

3. If the victim has no response or is unconscious, immediately ask for help (Call For Help) 
Activate Emergency Management System (EMS): shout for help and ask to contact the Hospital Code Blue Team (if you are in a hospital environment).

4. Check the carotid pulse as well as check for breathing 
- Carotid and respiratory pulse examination time is less than 10 seconds.
- Respiratory checks include:
✓ Look ➞ there is or not a chest wall movement.
✓ Listen ➞ there are or not breath sounds.
✓ Feel ➞ there is or not a breath.

5. If the carotid pulse is not palpable and there is no spontaneous breathing, do Cardio Pulmonary Resuscitation with a ratio of 30 for compression, 2 for ventilation as much as 5 cycles with a depth of 2 inches (5 cm), speed of 100 to 120 times for a minute. Do not forget to do ventilation should not use mouth to mouth directly, must use an intermediary for example using a barrier device.

6. Evaluation 
- Carotid pulse check and respiratory check for less than 10 seconds, if the carotid pulse is not palpable and there is no spontaneous breathing ➞ repeat Cardio Pulmonary Resuscitation with a ratio of 30 for compression, 2 for 5 cycles of ventilation.
- If the carotid pulse is palpable but the breath is absent or not spontaneous, help ventilate every 5 to 6 seconds for 2 minutes (10 to 12 times for a minute).
- Re-evaluation, carotid pulse check and breathing check for less than 10 seconds: If the carotid pulse has been palpable and breathing is spontaneous → do observations ➞ No.7 

7. Do observations
- Check the carotid pulse ➞ palpable pulse*
- Respiratory check ➞ spontaneous breathing*
* ➞ (Recovery Position) 
Make an observation until the helper arrives or the blue code team arrives.

From the summary above, it can be concluded that there are seven points in the basic life support procedure, namely make sure it's safe from danger, check response or awareness, call for help, check the carotid pulse as well as check for breathing, Cardio Pulmonary Resuscitation, evaluation, and observations. 


REFERENCES: 

A-MED Ambulance Service. (n.d.). Training. Retrieved May 1, 2020, from https://marco-macera-xhl8.squarespace.com/training

American Heart Association (AHA). (2015). 2015 american heart association guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18).

Pro Emergency. (2014). Basic cardiovascular life support (bcls). Jakarta: Pro Emergency.

Thursday, 30 April 2020

Penatalaksanaan Hipertiroid

Gambar 1. Kelenjar tiroid
Sumber: Tambayong (2000)


















Kelainan fungsi tiroid adalah salah satu gangguan endokrin yang paling sering ditemukan. Kelainan ini tergolong ke dalam dua kategori utama yaitu hipotiroidisme dan hipertiroidisme yang masing-masing mencerminkan defisiensi dan kelebihan sekresi hormon tiroid. Sejumlah penyebab spesifik dapat menyebabkan masing-masing keadaan tersebut. Apapun penyebabnya, konsekuensi dari sekresi hormon tiroid yang terlalu sedikit atau terlalu banyak umumnya dapat diperkirakan berdasarkan pengetahuan tentang fungsi hormon tiroid (Sherwood, 2011).

Proses penatalaksanaan penderita yang mengalami masalah pada kelenjar tiroid (selain dari tanda-tanda klinis yang sudah didapat) sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan T3, T4, dan TSH supaya mengetahui penderita mengalami gangguan ke arah hipotiroid atau hipertiroid. Setelah mengetahui hasilnya, baru dapat dilakukan penatalaksanaan dari masing-masing gangguan tersebut.

Menurut Chang et al. (2009) pada pemeriksaan laboratorium (T3, T4, dan TSH) pada penderita yang mengalami hipotiroid kadar TSH akan meningkat, kadar T3 dan T4 menurun. Peningkatan kadar TSH ini merupakan ciri diagnostik hipotiroidisme primer yang paling signifikan. Sedangkan pada penderita yang mengalami hipertiroid kadar TSH akan menurun, kadar T3 dan T4 meningkat.

Hipertiroid dikenal juga sebagai tiroksikosis didefinisikan sebagai respons jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan (Price & Wilson, 2005). Bentuk yang umum pada masalah hipertiroidisme adalah penyakit Graves yaitu suatu penyakit otoimun di mana tubuh secara salah menghasilkan long-acting thyroid stimulator (LATS), suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid. Tiroid terletak di atas trakea maka pembesaran kelenjar tiroid (goiter) mudah diraba dan biasanya terlihat (Sherwood, 2011).

Menurut Black & Hawks (2014) penatalaksanaan pada penderita yang mengalami pembesaran pada kelenjar tiroid (dalam hal ini hipertiroid) diharapkan dapat membatasi kelebihan sekresi TH dan mencegah komplikasinya. Beberapa penatalaksanaan dari segi manajemen medis adalah pemberian obat antitiroid, terapi radioaktif, dan pembedahan.
1. Pemberian obat antitiroid
- Berfungsi mengganggu sintesis hormon tiroid (menyekat sintesis dan pelepasan tiroksin), contohnya seperti propilitiourasil (Propacil, PTU) atau metimazol (Tapazole).
- Penyekat beta seperti propanolol diberikan bersamaan dengan obat-obat antitiroid yang berguna menghambat perubahan tiroksin perifer menjadi triyodotironin, juga menurunkan takikardia, kegelisahan, tremor, dan keringat berlebih.
- Pemberian obat ini dilakukan sampai penderita mencapai keadaan eutiroid dengan cara kerjanya akan menghalangi konversi T4 menjadi T3 di luar kelenjar tiroid.
- Obat-obat antitiroid tersebut memerlukan waktu beberapa minggu sebelum gejalanya mereda dan selama waktu tersebut dapat ditentukan dosis pemeliharaan yang kemudian diikuti oleh penghentian penggunaan obat secara bertahap, selama beberapa bulan berikutnya.
- Terapi ini ditentukan berdasarkan kriteria klinik, yang mencakup perubahan pada frekuensi nadi, tekanan nadi, berat badan, ukuran goiter, dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi tiroid (Smeltzer & Bare, 2001).
2. Terapi radioaktif
- Bertujuan untuk menghancurkan sel-sel tiroid yang berlebihan.
- Sering dilakukan pada penderita yang buruk ataupun lansia.
- Cara kerjanya akan terkonsentrasi dalam kelenjar tiroid dan menghancurkan sel-sel tiroid tanpa membahayakan jaringan lain yang bersifat radiosensitif, selama periode beberapa minggu atau bulan, sel-sel tiroid yang terpajan iodium radioaktif akan dihancurkan sehingga terjadi penurunan status hipertiroid (Smeltzer & Bare, 2001).
3. Pembedahan
- Tiroidektomi (mengangkat kelenjar tiroid) dapat dilakukan sebagian ataupun total.
- Tiroidektomi subtotalis dilakukan untuk mengoreksi hipertiroidisme atau goiter biasa, sekitar 5/6 kelenjar direseksi dan 1/6 sisanya kelenjar dapat berfungsi dengan baik, sehingga terapi hormon pengganti mungkin tidak diperlukan.
- Tiroidektomi total dilakukan untuk mengangkat kanker tiroid, penderita yang mengalami prosedur ini harus mengonsumsi hormon tiroid secara permanen (Black & Hawks, 2014).

Menurut Doenges et al. (1999) beberapa penatalaksanaan dari segi manajemen keperawatan adalah menurunkan kebutuhan metabolisme dan memberikan dukungan terhadap fungsi kardiovaskuler (homeostasis dapat dipertahankan), memberikan dukungan psikologis, memberikan informasi tentang proses penyakit, dan memberikan edukasi terkait kebutuhan terapi.


DAFTAR REFERENSI:

Black, J. M. & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah: manajemen klinis untuk hasil yang diharapkan. (edisi 8). Alih bahasa oleh Joko Mulyanto et al; editor bahasa indonesia oleh Aklia Suslia et al. Singapura: Elsevier.

Chang, E., Daly, J., & Elliott, D. (2009). Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan. Alih bahasa oleh Andry Hartono; editor bahasa indonesia oleh Devi Yulianti & Sari Isneini. Jakarta: EGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. (edisi 3). Alih bahasa oleh I Made Kariasa & Ni Made Sumarwati; editor bahasa indonesia oleh Monica Ester & Yasmin Asih. Jakarta: EGC.

Price, S. A. & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. (edisi 6, volume 2). Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, & Dewi Asih Mahanani; editor bahasa indonesia oleh Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Natalia Susi, & Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.

Sherwood, L. (2011). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. (edisi 6). Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit; editor bahasa indonesia oleh Nella Yesdelita. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner & suddarth. (edisi 8, volume 2). Alih bahasa oleh H. Y. Kuncara, Monica Ester, Andry Hartono, & Yasmin Asih; editor bahasa indonesia oleh Endah Pakaryaningsih & Monica Ester. Jakarta: EGC.

Tambayong, J. (2000). Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC.